Fenomena Kawin Kontrak Antara Warga Pribumi dengan Warga Asing dalam Perspektif Gender di Kabupaten Jepara
1. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Efa Laela Fakhriah (2003:4), secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal. Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974. (Fakhriah,2003:4). Dengan kata lain pernikahan yang disyaratkan adalah pernikahan yang tidak merugikan antara keduabelah pihak yang menjalankan pernikahan, dan dalam undang-undangpun tidak membenarkan adanya kawin kontrak.
2. LANDASAN TEORI
Teori yang dilakukan untuk menganalisis fenomena kawin kontrak antara warga pribumi dengan warga asing dalam perspektif gender adalah teori ketidak adilan gender. Michelle Rosaldo medefinisikan ketidaksetaraan sebagai sebuah kondisi dimana perempuan secara universal dibawah laki-laki, dimana laki-laki menjadi dominan karena partisipasinya mereka dalam kehidupan public dan merendahkan perempuan kelingkungan domestic. Partisipasi yang berbeda antara laki=laki atas perempuan secra universal, namun pula penilaian yang lebih tinggi terhadap peran laki-laki dibandingkan perempuan.
Ketidak adilan gender termaifeskan dalam berbagai bentuk ketidak adilan, yakni :
1. Stereotype (pelebelan negative)
Penjelasan feminis paling jelas mengenai konsep stereotype ini diberikan oleh Hinge Brovemen. Menyimpulkan bahwa penstereotipan mengenai peranjenis kelamin yang berkaitan dengan cirri pribadi sangat luas cakupannya. Sifat-sifat yang baik cenderung dilekatkan kepada laki-laki, sehingga laki=laki mampu membentuk kelompok yang sangat ekspresif. Stereotipe ini ditemukan disekolah, bacaan anak-anak, gaya bahasa dan pekerjaan (Astuti 2008;81)
2. Kekerasan
Sosiologi feminis meyatakan bahwa kekerasan adalah bentuk perbedaan kekuasaan dalam perkawinan. Mereka menunjukan bahwa eksistensi dan skala pengaiayaan istri dan kekerasan laki-laki dakam rumah tangga menjadikan persoalan kekerasan domestic sebagai contoh utama kekuatan yang saling berlawanan (Negara, uang, hokum, da pembagian kerja berdasarkan kelamin) yang membentuk kehidupan perempuan.
3. Beban Ganda
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestic rumah tangga menjadi tanggug jawab kaum perempuan (fakih 1996:21)
Golongan radikalis sejak awal melihat bahwa akar penindasan kaum perempuan adalah domonasi kaum laki-laki dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki diyakini sebgai bentuk dasar penindasan. Patriarki, yakni ideology kelakian dimana laki-laki dianggap mempunyai kekuasaan superior dan provilage ekonomi, dianggap sebagai masalah universal dan medahilui segala bentuk penindasan. Mereka mereduksi hubungan gender kepada perbedaan kodrat dan biologis. Mereka juga mengungkap bahwa personal is political. Oleh karena itu, perubahan kondisi dan posisi kaum perempuan harus dimulai dari idividu itu sendiri (Fakih 1996; 145)
3. KERANGKA BERFIKIR
Adapun kerangka berfikir dalam fenomena kawin kontrak antara warga pribumi dengan warga asing adalah sebagai berikut :
|
| |||||||
| |||||||
| |||||||
| |||||||
Keterangan : Praktik kawin kontrak warga pribumi dengan warga asing melahirkan dampak yang akan langsung diterima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar