Di pusat sistem keagamaan jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal , tidak drakmatis, dan mengandung rahasia yang disebut dengan slametan. Slametan adalah versi jawa dari upacara keagamaan paling umum di dunia, ia melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut serta di dalamnya. Di mojoketo, slametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan social dan pengalaman perorangan, dengan satu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik. Perubahan bentuk kehidupan kota dan bagian pinggir kota abad keduapuluh dijawa menyebabkan slametan itu agak kurang efesien sebagai mekanisme integrasi, dan agak kurang memuaskan sebagai suatu pengalaman keagamaan bagi banyak orang, tetapi diantara kelokmpok yang digambarkan disini sebagai abangan.
Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama,memohon kapada arwah dan sebagainya bisa memerlukan slametan, di dalam slametan senantiasa ada hidangan khas (yang bebeda-beda menurut slametan itu), dupa pemabacaan doa, dan pidato tuan rumah disampaikan dalam pidato bahasa jawa yang tinggi yang sangat resmi.
Pola slametan
Kebanyakan slametan diselenggarakan di waktu malam, segera setelah matahari terbenam da sembahyang maghrib yang telah dilakukan oleh mereka yang mengamalkannya. Kalau peristiwa itu menyangkut selain kelahiran dan kematian maka tuan rumah akan mengundang ahli agama untuk menentukan hari baik menurut hitungan sistem kalender orang jawa. Upacaranya sendiri hanya dilakukan oleh kaum pria sedangkan kaum manita hanya di belkang (dapur). Semua pria yang diundang adalah tetangga-tetangga dekat, karena dalam slametan itu orang mengundang semua yang tinggal di tempat sekitar rumahnya. Mereka di undang oleh tuan rumah dalam lima atau sepuluh menit sebelum slametan dimulai.Begitu tiba, setiap tamu mengambil tempat duduk diatas tikat dan mereka duduk dalam posisi formal yang disebut sila (dengan dua kaki berlipat disilang kedalam, sementara batang tubuh tegak lurus/kaku).
Tuan rumah membuka upacara dengan bahasa jawa ynag tinggi yang sangat resmi. Pertama-tama ia mengucapkan terima kasihnya atas kehadiran para tetangganya. Kedua, ia mengutarakan niatnya ia menyebut khusus dari slametan itu. Kemudian ia menyebut maksud khusus dari upacara itu. Yang ini selalu saja sama dengan dirinya, keluarga, dan tamu-tamu memperoleh ketenangan jiwa dan raga, suatu ketenangan negative yang istimewa yang oleh orang jawa disebut slamet darimana upacara itu sendiri beroleh namanya.
Bila tuan rumah telah menyelesaikan sambutan pembukaan yang formil ini yang disebut ujub, ia meminta salah seorang yang hadir untuk membacakan doa dalam bahasa arab, pada peristiwa yang istimewa ini malah bisa jadi mengundang seorang modin, ahli agama yang resmi untuk berdoa.setelah upacara pembukaan selesai, irama datar doa arab telah diimbangi kembali dengan sambutan bahasa jawa maka suguhan hidangan pun mulai. Hidangan itu biasanya mengandung arti yang masih diketahui atau yang sudah tidak diketahui lagi oleh hadirin (dalam menyampaiakan ujub seringkali tuan rumah munguraikan arti tiap panganan sebagai bagian dari pernyataan tentang niat upacara itu). Selanjutnya mereka langsung memekan hidangan itu dengan bergegas tanpa bersuara karena makan sambil berbicara dianggap membawa sial. Lima sampai sepuluh menit setelah itu para tamu menyudahi makan dan meninggalkan rumah dengan membungkuk agar tidak menggagahi tuan rumah yang lagi duduk. Kebnyakan hidangan itu tidak dimakan habis melainkan dibawa pulang kerumah masing-masing.
Makna slametan
Slametan, denagn demikian, merupakan upacara dasar yang inti di sebagian masyarakat Mojokuyo dimana pandangan hidup ababngan paling menonjol. Orang jawa mengadakan slametan karena dengan slametan,tak seorang pun meerasa dirinya dibedakan dari orang lain dan dengan demikian mereka tidak ingin berpisah. Slametan juga menjaga orang dari roh-roh halus. Dalam suatu slametan seseorang diperlakukan sama. Hasilnya dalah tak seorang pun merasa berbeda dari yang lainnya, tak seorang pun merasa lebih rendah dari yang lain, dan tak seorang pun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain. Juga, setelah kita mengadakan slametan, arwah setempat tidak akan menggangu kita, tak akan membuat kita merasa sakit, sedih atau bingung.
Keadaan yang didambakan adalah keadaan slamet, yang oleh orang jawa didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa”, atau lebih tepat “tidak ada sesuatu yang akan mnimpa (seseorang)”. Tetapi karena sesuatu mungkin saja terjadi, dan hamper tak dihindari lagi, kalangan abangan yang menyadari hal ini mempersonifikasikan kemungkinan kemalangan ini dipandang dari segi kepercayaan terhadap roh-roh halus dan coba tawar-menawar dengan mereka melalui slametan. Kemenyan dan bau penganan di tempat s;lametan di anggap sebagai makanan buat roh-roh itu, agar mereka ini jadi pasif dan tidak akan mengganggu yang hidup.
BAB II
KEPRCAYAAN TERHADAP MAKHLUK HALUS
Ada tiga jenis pokok makhluk halus: Memedi (harfiah tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus, tuyul. Memedi hanya menggangu orang atau menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya tidak sampai merusak benar. Memedi laki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe ( istri gendruwo yang selalu menggendong anak kecil dengan selendang di pinggang, sebagaimana ibu-ibu biasa). Memedi biasa ditemukan di malam hari, khususnya di tempat-tempat gelap dan sepi. Sering kali mereka ini tampak dalam wujud orang tua atau keluarga lainnya, hidup atau mati, kadang-kadang malah menyerupai anak sendiri. lelembut sebaliknya dengan memedi, dapat menyebabkan orang sakit atau gila. Lelembut itu masuk kedalam tubuh orang dan kalau orang itu tidak di obati oleh seorang dukun asli jawa, ia akan mati. Lelembut sama sekali tidak tampak, dia juga tidak mengambil wujud salah seorang keluarga, tetapi ini sangat berbahaya bagi manusia. Jenis terakhir adalah tuyul. Tuyul merupakan anak makhluk halus, “ anak-anak yang bukan manusia, “ tuyul tidak mengganggu, menakuti orang atau membuat sakit; sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membuat jadi kaya. Kalau manusia ingin berhubungan dengan mereka, ia harus berpuasa dan bersemedi. Kalau orang mau kaya, ia bisa menyuruh mereka mencuri uang. Mereka bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata hingga tidak akan kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya. Suatu jenis tuyul yang lain disebut mentek. Mereka pun anak-anak kecil yang tak berpakaian sama sekali; sementara orang-orang mengatakan mereka itu saudara sepupu tuyul. Mentek tinggal di sawah. Misal anda dan saya memiliki sebuah sawah. Mereka saya suruh untuk menyerap butir-butir padi anda dan memindahkannya ke dalam padi-padi saya. Ketika panen tiba, butiran butiran padi anda kosong sedangkan butuiran padi saya berisi dua kali lebih gemuk. Kepercayaan terhadap roh kalangan abangan di mojokuto bukan merupakan bagian dari skema yang konsisten dan sistematis dan terintegrasi, tetapi lebih berupa serangkaian imaji-imaji yang berlainan, konkrit, spesifik, yang di rumuskan secara agak tajam – metafora-metafora yang terlepas satu sama lain yang memberi bentuk kepada berbegai pengalaman yang kabur dan yang kalau tidak demikian akan tidak dapat dimengerti.
Memedi: Roh yang Menakut-nakuti
Memedi adalah istilah jawa untuk jenis roh yang paling mudah dipahami oleh barat, karena ia hamper sama dengan apa yang ada dalam bahasa inggris disebut spooks (hantu). Jerangkong, yang berupa kerangka manusia “ tanpa daging “. Wedon,; makhluk halus dalam bungkus kain putih yang di barat disebut ghost. Memedi yang terus menerus menambah garam ke dalam makanan seseorang. Sepasang tangan tanpa tubuh. Wedon yang bayangannya tetap terlihat meski lampu telah di padamkan. Panaspati yang kepalanya terletak di tempat dimana seharusnya kemaluannya berada dan berjalan dengan kedua tangannya, menghembuskan api. Jim, makhluk halus islam yang bersembahyang lima kali sehari , mengenakan jubah, dan membaca doa menggunakan bahasa arab. Pisacis (pengembara), anak kecil tanpa orang tua dan tempat tinggal tetap dan terus menerus mencari manusia untuk di tinggali. Uwil yang jarang di temui sekarang ini tetapi dianggap sebagai tentara budha di masa yang dulu. Setan gundul,yang seluruh rambutnya di cukur kecuali sebagian sebagai pucung. Sundel bolong – “ pelacur dengan lobang di tubuh. Sundel bolong adalah seorang wanita cantik yang telanjang tetapi kecantikannya dicemarkan dengan adanya lubang besar di tengah punggungnya, rambutnya hitam dan panjang sampai ke pantat, hingga menutupi lubang di punggungnya. Gendruwo, jenis memedi yang paling umum. Umumnya lebih senang bermain-main dari pada menyakiti dan suka berbuat lucu terhadap manusia seperi menepuk pantat perempuanm ( terutama waktu sembahyang). Namun betapapun senangnya dengan kelakar, tidak selalu tidak berbahaya. Seringkali mereka muncul dalam wujud orang tua, kakek, anak, atau sodara kandung. Kadang gendruwo itu benar benar kurang ajar. Ia menyaru sebagai suami seorang perempuan lalu tidur dengannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan perempuan itu. Maka akan lahirlah anak-anak dari percampuran ini yang menyerupai raksasa.
Lelembut: Roh yang Menyebabkan Kesurupan
Tukang kayu mengatakan bahwa lelembut (tetapi orang lain bisa saja bisebutnya gendruwo, setan demit, atau jim), jenis roh yang masuk dan membuat orang kesurupan, merupakan masalah yang agaknya lebih serius, karena perjumpaan dengan mereka bisa berakhir dengan sakit, gila atau kematian. Teori jawa tentang kesurupan sudah berkembang agak lanjut. Lelembut menurut beberapa orang selalu masuk ke dalam tubuh dari bawah, melalui kaki. (Itulah sebabnya orang membasuh kakinya sebelum bersembahyang di masjid,itu juga sebabnya orang dianjurkan menghangatkan kakinya di atas tungku sebelum menengok seorang wanita yang baru saja melahirkan, karena pada umunya bayi mudah di rasuki makhluk halus, suatu gejala yang disebut sawanen). Yang lain lagi, mungkin jumlahnya lebih besar, menganggap bahwa roh itu senantiasa masuk lewat kepala. Kesurupan berlangsung lama. Seorang tua pegawai rumah sakit dan informan terbaik dalam sosl begini menggolongkan aneka ragam kesurupan dalam enam jenis. Jenis pertama adalah kesurupan, yang akar katanya berarti “masuk”, “ memasuki sesuatu” tetapi mengandung arti kedua, yakni “waktu matahari terbenam”. Barangkali hal ini mencerminkan kepercayaan bahwa saat matahari terbenam adalah waktu yang istimewa bahayanya, dalam hubungannya dengan roh-roh, karena seperti halnya orang jawa, roh-roh itu berkeliaran dan mengunjungi teman- temannya pada saat itu dan mungkin sekali akan merasuki orang-orang di jalan. Tetapi pukul dua belas siang dan tengah malam juga luar biasa bahayanya). Kesurupan adalah gejala kerasukan roh yang umum sekali dan meripakan bagian terbanyak dari kasus-kasus demikian. Makhluk halus dalam hal ini adalah santri, karena kiai adalah gelar yang diberikan pada mereka yang alim atau guru mengaji Alquran, yang biasa dijajarkan dengan gelar ulama di Timur Tengah. Tetapi lelembut itu mungkin juga termasuk kalangan abangan, yang dalam hal ini akan menyebut dirinya sapu jagad, atau termasuk priyayi dengan nama raden. Karena raden adalah gelar yang diberikan kepada para bangsawan jawa. Jenis yang kedua adalah Kampi-kampiran. Secara harfiah berarti “mampir sebentar mengunjungi seseoang, datang dari jauh dan singgah sebentar di rumah teman sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat lain”. Jadi. Kampir=kampiran sebagai suatu bentuk kemasukan roh sama dengan kesurupan, hanya bedanya roh yang masuk itu tidak berasal dari jembatan atau rumpun bambu setempat tetapi dari lautan hindia yang dalam perjalanan menuju gunung berapi di sebelah mojokuto tiba-tiba mennabrak si korban do jalan. Kampel-kampelan juga sama dengan itu, hanya saja penyakit si korban tidak begitu jelas. Ia akan pergi kian kemari dan berlaku seperti biasa, tetapi kadang-kadang berlaku agak aneh.
Setanan adalah serupa kampel-kampelan, hanya lebih serius. Orang yang terkena mungkin masih bisa pergi kesan-kesini dan tidak pernah sakitnya, tetapi untuk mengeluarkan makhluk halus yang merasukinya diperlukan jasa seorang ddukun.
Kemomong jenis yang yang teakhir, adalah semacam perjanjian sukarela dengan iblis.seseorang yang biasanya tidak beriman , menjadi sahabat setan lalu setan itu merasuki tubuhnya jadilah persekutuan suka rela atas persetujuan kedua belah pihak.
Tuyul: Makhluk halus yang karib
Berapa orang mengatakan bahwa mereka bisa didapatakan melalui meditasi dan puasa, namun ada pula yang mengatakan bahwa tak perlu melakukan itu ( semuanya itu tergantung tuyul sendiri, kalau memang ia ingin menolong kita, ia akan menolong, dan kalau tidak, ia akan menolak, tak peduli apapun yang kita lakukan), tetapi kebanyakan orang beranggapan bahwa orang perlu mengadakan perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima tawarannya. Tiga orrang mojokuto yang dianggap umum memiliki tuyul. Mereeka bersumpah di tempat-tempat keramat : kalu makhluk di situ berkenan memberikan tuyul mereka akan mempersembahkan korban manusia yang akan dibunuh secara magis untuk makhluk halus itu saban tahunnya, baik itu kerabat dekat maupun temannya sendiri. tuyul mampu mencuri uangtanpa kemuungkinan dilacak samasekali, dan satu-satunya imbalan untuk mereka adalah menyediakan tempat tidur dan menghidangkan bubur setiap malam, yang merupakan makanan pokok mereka. Berhubung mereka ini kanak-kanak ( kalau berjalan, konon melompat lompat dalam lingkaran kecil, seperti halnya anak kecil). Salah satu jenis pencuri padi yang biasa umum kenal disebut gebleg, karena sekalipun berbentuk seekor ayam,ia menghentakkan kakinya kuat-kuat ketika berjalan ( hingga berbunyi bleg-bleg). Ia menjejalkan padi dibawah sayapnya, kembali kepada pemiliknya, kemudian mengobaskan sayapnya dan padi itu berjatuhan di lumbung padi pemiliknya. Mereka yang dituduh memiliki tuyul termasuk kedalam satu tipe sosial. Mereka selalu kaya (seringkali) mendadak, kikir (tiidak selalu), berpakaian buruk, mandi di kali bersama-sama kuli yang miskin, tidak makan nasi tetapi jagung dan ubi, sementara rumah mereka (konon) selalu penuh dengan emas. Merekapun seringkali agak menyimpang secara sosial. Mereka berbicara keras-keras, agresif, kurang beradat, berpakaian kedodoran, dan memiliki kebiasaan yang kurang bersifat jawa.
Demit: makhluk yang menghuni suatu tempat
Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan tempat tinggal tetap dan mungkin mau membantu keinginan orang adalah demit, walaupun orang tidak konsisten, namun cenderung menggunakan pernyataan yang menggunakan kata demit, danyang, lelembut dan setan baik dalam penertian luas maupun sempit untuk menyebut makhluk halus pada umumnya maupun suatu sub jenis tertentu secara khusus. Demit dalam arti sempit tinggal ditempat-tempat keramat yang disebut punden yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan candi hindu, pohon beringin, kuburan tua, sumber air yang hamper tersembunyiatau beberapa kekhususan topografi semacam itu. Ada sejumlah punden di Mojokuto,tetapi yang paling terkenal, paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa adalah kaghluk halus yang tinggal di pusat kota mojokuto, dipinggr alun-alun, namanya mbah buda. Kalau seseorang menginginkan mbah buda mengabulakan permintaannya, ia harus pergi ketempat keramat itu – sekalipun beberapa orang berpendapat bahwa orang bisa melakuakannya di rumah – minta pengampunan serta maaf dari demit itu, dan berjanji akan mengadakan slametan untuk menghormati demit itu kalau permohonannya dikabulkan. Slametan untuk demit setelah seseorang dikabulkan permohonannya haru diadakan pada hari yang khusus yakni hari jumat dari mingguan kalender barat bertemu dengan hari legi menurut pasaran jawa yang lima hari itu yang terjadi tigapuluh hari sekali. Slametan itu sederhana saja terdiri atas nasi, ayam atau sedikit ikan basah, kue kacang kedelai dan sebagainya, ditamabah beberapa bunga-bungaan.
Danyang: roh pelindung
Danyang umumnya adalah nama lain dari demit ( yang ada akar kata berarti roh). Karakteristik danyang tidak jauh berbeda seperti deemit. Namun berbeda dengan demit, beberapa danyang dianggap sebagai roh para tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat tinggal mereka, orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya memiliki satu danyang utama. Danyang desa ini, ketika masih hidup sebagai manusia, dating kedesa itu selagi masih berupa hutan belantara, membersihkaynnya, membbagikan tanah kepada pengikutnya,keluarganya, teman-temannya, dan ia sendiri sebagai dkepala desannya (lurah) yang pertama. Sesudah mati, biasanya dimakamkan di dekat pusat desa, dan makamnya lalu menjadi punden. Orang-orang tertentu mungkin masih mengaku sebagai keturunannya dan ia dianggap menentukan secara magis tentang siapa yang akan menjadi kepala desa,denjgan jalan mengawasi gerak-gerik mengawasi suatu jenis rohpolitik yang khusus yang disebut pulung ( kebanyakan orang mengatakan bahwa ia sendiri yang menjadi pulung tersebut). Daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang desa disebut kumara. Kumara (atau kemara) berartisuara yang tiba tiba muncul dari ketiadaan, seperti apabila seorang dukun termasyur meninggal, dua minggu sesudahnya orang akan mendengar suara secara tiba-tiba tanpa ketahuan sumbernya. Dengan demikian kumara meliputi seluruh ruang angkasa, dimana seseorang bisa mendengar suara manusia berbicara dari permukaan tanah.l sebagai tambahan, keempat pojok desa kadang-kadang dianggap dihuni oleh roh pelindung, seringkali juga disebut danyang, sering dianggap sebagai anak-anak danyang utama, yang tinggal di pusat desa.
Makna kepercayaan terhadap makhluk halus
Bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan jim tuyl, demit, danyang memberikan kepada mereka yang percaya satu rangkaianjawaban yang tersedia untuk pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang bersifat teka-teki, rangkaian imajinasi yang piktografi simbolis, dalam kerangka makna bahkan hal-hal yang ganjil nampaknya tak bisa dihindari. Dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang dorubah bentuknya secara simbolis.
Namun sekalipun ada kekaburan, kontradiksi maupun diskontinuittas dala kepercayaan abangan mengenai makhluk-makhluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna yang lebih luas dan lebi umumdaripada sekedar penjelasan terpisah yang mungkin diharapkan orang mengenai luka yang tak tersembuhkan, fuga-fuga psikologis dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya itu melukiskan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Sementara kebudayaan oorang jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat menjadi tanah persawahandan perumahan, makhluk-makhluk halus mundur kesisa hutan belantara, puncak gunung merapi dan lautan hindia. Serupa itu pulabila seorang makin beradap dalam pola jawa, sedikit sekali ia akan kosong bingung, atau tersesat, yang menyebabkan rawan tehadap kesurupan roh. Dalam konteks ini slametan merupakan penegasan dan penguatan kembbalitata kebudayaan umum kekuasaannya untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan yang mengacau. Slametan mengorgganisasikan, memusatkan, serta meringkaskan ide umum abangan tentang tata, “pola hidup” mereka. Dalam bentuknya yang kurang dramatis, ia menyatakan nilai-nilai yang menjiwai kebudayaantani jawa tradisional. Menyesuaikan satu sama lain berbagai kehendak yang saling bergantungan, menahan diri dalam menyatakan perasaan dan dengan hati-hati mengatur tingkah laku keluar. Slametan cenderung untuk berlangsung pada titik demikian ini dalam kehidupan orang jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai itu mencapa puncaknya, dan ketika makhluk-makhluk halusdan kekacauan tak manusiawiyang mewakili sangat mengancam.
SIKLUS SLAMETAN
Slametan terbagi dalam empat jenis :
1. Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan-kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian.
2. Yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam maulud Nabi, idul fitri, idul adha, dsb.
3. Yang ada sangkutanya dengan integrasi sosial desa, bersih desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni dari roh-roh jahat).
4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang-keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dsb.
Sebelum membahas jenis-jenis itu secara terprinci, patut dicatat adanya 2 faktor yang umum untuk semua jenis itu, antera lain :
1. Prinsip yang mendasari penentuan waktu slemetan.
2. Arti slametan itu.
Petungan : Sistem Numerologi Orang Jawa
Slametan kelahiran waktunya ditetapkan menurut peristiwa kelahiran, dan slametan kematian itu, namun orang jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan, peristiwa itu dianggap sebagai ditentukan oleh Tuhan, yang menetapk secara pasti perjalanan hidup setiap orang.upacara khitana dan perkawinan seperti juga pergantian tempat tinggal dan semacamnya tampaknya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia tetapi disini pun penetapannya secara sembarang harus dihindari dan suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut petungan atau hitungan.
Andai kata seseorang bermaksud pindah tempat, ia tidak bisa begitu saja membuat perjalanan pindahnya dan hari kepindahan yang di inginkannya. Arah itu biasanya merupakan salah satu arah mata angin, karena desa desa dan kota kota jawa cenderung menuruti tata letak yang sesuai dengan titik titik kompas yang utama, seperti juga rumah rumah, jalan jalan, dan sawah dalam pedesaan atau kota.Ruang adalah segi segi empat dan orang bergerak dalam ruang itu secara segi empat pula : orang mengatakan agar anda menggeser kursi sedikit ke barat atau menyorongkan sambel kepada orang yang berada di sebelah timur anda.
Di pihak lain, waktu, sebagaimana telah disebutkan, bersifat seperti getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari koinsidensi hari dalam siklus 5 dan 7 hari, dan dalam sistem petungan yang lebih cermat, merupakan bagian dari waktu minggu yang 37 hari, bagian dari salah 1 bulan dalam 12 bulan islam menurut perhitungan rembulan, dan akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu.jadi, dalam kepindahan itu orang harus menyesuaikan arah pindah dengan angka angka yang dilekatkan kepada hari hari itu.
Bagi para priayi yang lebih tekun merenungkan hal ini, sistem angka angka hari ini adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi. Angka angka itu dianggap keluar dari kesadaran dalam orang orang keramt yang termasyur dan diwariskan dari generasi ke generasi, sering secara rahasia, dari guru kepada muridnya yang terpilih. Tetapi bagi kalangan abangan angka angka itu cenderung duterangkan dalam pengertian roh, dalam apa yang disebut nagadina atau “nagahari”.
Seseoprang yang berjalan dengan arah yang salah pada hari yang salah akan digigit naga hari itu atau dimakan sama sekali.Ada pula naga minggu, bulan atua tahun.Sebagai contoh, disisni diperlihtakan suatun bagan tentang arah yang diperkenankan oleh naga wulan, yakni naga kalender bulan islam
Utara : Sawal
Sela
Besar
Barat : Rejeb Timur : Sura
Ruwab Sapar
Pasa Mulud
Selatan : Bakdamulud
Jumadilawal
Jumadilakhir
Naga dina sudah sewajarnya merupakan naga yang paling lemah dan kadang kadang bisa diperdayakan. Misalnya, kalau orang ingin berpergian ke selatan, ia bisa mulai berjsalan ke utara melepaskan diri dari naga itu, berbelok kebarat dan kemudian ke selatan mengitari tujuannya dan akhirnya tiba secara benar ke arah utara.hanya sedikit orang yang mencoba cara iniuntuk naga naga bulan; bahkan untuk naga haripun berbahaya, karena naga itu mungkin mengetahui tipu muslihat anda.
Suatu sistem yang lebih rumit yang digunakan beberapa orang di Mojokuto memakai sebuah diagram seperti ini.
Senen Jumat Minggu
Rabu
Selasa Sabtu Kamis
Di sini kita mempunyai suatu sistem yang agak sedikit umum, yang bisa memberitahukan seseorang tentang apakah yang ingin dilakukannya itu baik atau tidak. Pertama-tama orang itu menghitung angka hari waktu ia melakukan ramalannya- misalnya, dalam sistem yang dikutip terdahulu, yang paling luas tersebar di Mojokuto, Sabtu Wage adalah 13. Maka ia lalu mengambil 13 biji jagung dan menjatuhkannya satu per satu menurut urutan hari yang biasa (mulai dari Senin). Kalau ia sudah menghabiskan yang tiga belas itu, ia pungut semua biji yang terletak di tempat bji terakhir di jatuhkan, dan melanjutkan lagi sampai ia tiba pada suatu hari lain, dan demikian seterusnya. Akhirnya ia akan tiba pada suatu haridi mana tak ada lagi biji yang tinggal. Hari ini adalah hari yang paling tidak tepat untuk melaksanakan perbuatan yang diinginkannya itu, sementara hari yang dijatuhi biji jagung paling banyak setelah proses ini selesai, adalah hari yang paling mujur. Sistem lain hanya mendaftar bulan-yang ada dan menetukan hari serta tanggal yang paling mujur dan mana yang tidak: pada bulan Sawal, hari Jumat adalah hari baik untuk hampir sumua hal, demikian juga tanggal dua bulan itu; pada tanggal sembilan dan dua puluh satu, orang lebih baik tinggal di rumah.
Sistem dengan kompleksitas begini biasanya merupakan milik para spesialis; orang biasa lazimnya akan pergi ke dukun apabila ingin mengetahui sesuatu menurut ramalan. Sebelum perang, hal ini dianggap lebih banyak benarnya dari pada sekarang. Pada masa itu sistem demikian konon sangat rahasia, di wariskan dari guru kepada murid dengan hati-hati sekali; hanya akhir-akhir ini saja sistem itu tersebar di kalangan orang biasa.
Sistem petungan juga digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah kalau ingin mencuri tanpa ketahuan, untuk menetukan di sebelah mana orang harus duduk dalam arena adu ayam supaya menang dalam taruhan, untuk meramalkan apakah orang akan untung atau rugidalam perdagangan di hari tertentu, untuk memilih obat yang tepat bagi suatu penyakit, untuk menentukan hari baik untuk khitanan dan perkawinan (biasanya sampai kepada jam yang tepat di mana upacara harus dilangsungkan),dan untuk meramalkan apakah suatu perkawinan yang direncanakan bisa telaksna atau tidak.
Biaya Slametan
Penyelenggaraan slametan, tentu saja, memerlukan uang, tetapi sukar untuk membuat suatu perkiraan tentang berapa besarnya, buakn saja karena orang tidak menyimpan catatan mengenai pengeluaran serupa itu, tetapi juga karena menggambarkan jumlah uang dalam mata uang asing benar-benar tidak banyak artinya justru menyesatkan, bahkan kalau orang tahu nilai kurs-nya.
Memprkirakan arti ekonomis perayaan keagamaan mereka dari sudut pandangan orang Jawa sendiri, agar dengan begitu bisa memberikan ide yang benar kepada pembaca Barat tentang jumlah sebenarnya kekayaan orang Jawa yang tersangkut di sini, memerlukan apa yang disebut fenomenologi komparatif mata uang.
SIKLUS SLAMETAN: KELAHIRAN
Upacara peralihan tahap (rites of passage) orang Jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkupi kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Dalam keseluruhannya slametan menyediakan kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati, dan kompleksitas simbolisme khusus peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya.
Tingkeban
Di sekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil. Slametan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (tingkeban; yang diselenggarakan hanya apabila anak yang di kandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran atau brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (pitonan). Slametan-slametan lain bisa diadakan bisa juga tidak, yakni pada bulan ketiga masa kehamilan (telonan) bulan pertama sesudah kelahiran (selapanan) dan setahun sesudahnya (taunan). Beberapa orang mengadakan slametan setiap bulan sesudah kelahiran selama satu atau dua tahun secara tak teratur hingga anak itu dewasa, tetapi praktek ini sangat beraneka ragam dan slametan demikian biasanya kecil dan tidak penting.
Penentuan waktunya, patut juga dicatat, bukanlah menurut bulan Barat yang tiga puluh hari tetapi dengan bulan orang jawa yang tiga puluh lima hari. Orang Jawa menggabungkan lima hari pasaran (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon), dengan hari-hari menurut mingguan Islam-Barat yang tujuh hari (Minggu, Senen, Rabo, Kamis, Jumuwat, Setu). Mereka mulanya memiliki mingguan tujuh hari yang sekarang hanyalah merupakan nama-nama Islam yang menggantikan nama-nama asli. Karena tujuh kali lima adalah tiga puluh lima, maka ada tiga puluh lima hari yang berbeda-beda (Minggu-Legi, Senen-Paing, Jumuwat-Legi, Setu-Paing, Setu-Kliwon), dan perputaran ini membentuk ”bulan”. Namun sebenarnya ”bulan-bulan” ini tidak merupakan kesatuan yang ditetapkan dan mutlak sebagaimana yang ada pada kita, tetapi merupakan jarak waktu antara suatu hari tertentu dengan datangnya hari itu lagi tiga puluh lima hari kemudian.
Kalau orang menanyai seorang Jawa tentang kapan ia dilahirkan, ia hanya mengenal harinya: Setu-Paing, misalnya. Kesuliyannya adalah ia hampir tidak mengenal bulan maupun tahunnya, dan ia tidak peduli. Kalau ia di lahirkan pada hari jumat-legi, maka selapanannya atau ”hari lahirnya dalam sebulan” adalah jumuwat-legi yang akan datang. Hari kelahirannya dalam masa tujuh bulan (pitonan) akan jatuh pada hari jumuwat-legi yang ketujuh sesudah hari lahirnya. Waktu penanggalan Jawa bersifat denyutan (pulsatif) tidak keruangan (spatial) seperti kita. Apabila roda-roda penggerak kalender itu berdetak lagi dalam satu kombinasi tertentu, ini adalah waktunya suatu upacara tertentu harus diselenggarakan, perjalanan harus dimulai, atau suatu obat harus diminum. Berang kali sebagian karena ini maka kehidupan orang jawa seperti mengalun diantara apa yang bias disebut waktu penuh dan waktu kosong: saat-saat, jam dan hari-hari yang penuh dengan kegiatan yang sibuk, padat dan intens berganti dengan masa-masa dimana orang seperti tidak berbuat apa-apa tetapi hanya menanti sesuatu yang menimpa.
Kecuali dalam sedikit kasus dimana slametan tiga bulan kandungan sudah diadakan atau dalam hal seorang wanita yang telah beranak menikah dengan seorang yang belum mempunyai anak, tingkeban mencerminkan perkenalan seorang wanita Jawa kepada kehidupan seorang ibu. Karena ketaktentuan yang relative tentang waktu konsepsi, maka tingkeban tidak diadakan pada hari tertentu sesuai dengan mulainya kehamilan, tetapi selalu pada hari sabtu yang terdekat dengan bulan kandungan yang ketujuh sepanjang hal itu bias diperkirakan.
Tingkeban diadakan dirumah ibu sicalon ibu, dan slametan yang khusus disiapkan dengan unsure-unsur utama berikut ini, yang uraikan dengan sedikit makna-maknanya, disertai dengan peringatan bahwa tidak mungkin untuk memperoleh kesepakatan diantara informan tentang hal-hal ini:
1. seperi nasi untuk setiap para tamu dengan nasi putih di atas dan nasi kunung di bawahnya. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta. Ini harus dihidangkan diatas wadah daun pisang yang direkatkan dengan jarum baja (raja bangsawan konon menggunakan jarum emas di masa ”dahulu”) agar anak yang bakal lahir kuat dan tajam pikirannya.
2. Nasi dicampur dengan kelapa parutan dan ayam irisan. Ini di maksudkan untuk menghormati Nabi Muhammad maupun untuk menjamin slamet bagi semua peserta dan anak yang bakal lahir. Biasanya termasuk di sini korban untuk Dewa Pertimah (harfiah berarti: “Dewi Hindu Fatimah”-yakni puteri Muhammad dengan gelar Hindu) yang terdiri dari dua buah pisang yang disertakan di bawah sekali.
3. Tujuh tumpeng kecil nasi putih terutama melambangkan tujuh bulan kehamilan, tetapi seringkali beberapa “hajat” lain ditambahkan, seperti untuk menghormati hari yang tujuh dalam satu minggu, langit yang berlapis tujuh dan semacamnya.
4. Delapan (kadang-kadang sembilan) bola nasi putih yang dibentuk dengan genggaman tangan untuk melambangkan delapan (atau sembilan) wali-penyebar Islam yang legendaries di Indonesia-dan khususnya untuk memuliakan Sunan Kalijaga, yang paling terkenal dan paling berkuasa dari semua Wali, yang biasanya dianggap penemu wayang, slametan dan agama abangan pada umumnya.
5. Sebuah tumpeng nasi yang besar, biasanya disebut tumpeng “kuat” karena ia di buat dari beras ketan, yng maksudnya agar anak yang dalam kandungan itu kuat dan juga memuliakan danyang desa itu.
6. Benerapa hasil tanaman yang tumbuh di bawah tanah (seperti singkong) dan beberapa buah yang tumbuh bergantung diatas (seperti buah-buah pada umumnya), yang pertama untuk melambangkan bumi sedang yang kemudian untuk melambangkan langit, yang masing-masingnya dianggap memiliki tujuh tingkatan.
7. Tiga jenis bubur: putih, merah ( dibuat demikian dengan memberinya gula kelapa), dan suatu campuran dari keduanya: yang putih diseputar bagian luar, sedang yang merah di tengah piring. Bubur putih melambangkan “air”sang ibu, yang merah “air”ayah dan campuran keduanya (disebut bubur sengkala yang harfiah berarti bubur malapetaka) dianggap sangat mujarab untuk mencegah masuknya mahluk halus jenis apapun.
8. Rujak legi, suatu ramuan dari berbagai buah-buahan, cabe, bumbu-bumbu dan gula. Ini sangat penting dalam hubungannya dengan tingkeban, dan yang paling khas; kebanyakan anasir lain terdapat dalam slametan-slametan lain, tetapi rujak disini. Konon, bila rujak itu terasa pedas atau sedap oleh si ibu, ia akan melahirkan anak laki-laki.
Semuanya itu hanyalah sedikit dari elemen-elemen tingkeban dan makna-makna yang menyertainya. Seorang informan abangan yang terpelajar bisa mengemukakan daftar dari lima puluh jenis hidangan slametan, masing-masing dengan cara membuatnya yang khusus, makna simbolisnya yang khusus, dan ditunjukkan kepada penerima yang khusus pula. Namun, yang langsung mengejutkan bahkan dalam contoh yang sedikit ini adalah percampuran yang kaya dari roh-roh, dewata dan tokoh-tokoh kebudayaan Islam, Hindu-Budha, dan Jawa asli, dan pahlawan-pahlawan kebudayaan dalam suatu sinkretisme yang hebat. Dewi Hindu bergaul rapat dengan rosul-rosul Islam dan keduanya dengan danyang setempat; dan sedikit sekali ada tanda-tanda bahwa yang satu merasa heran melihat adanya yang lain di situ.
Dalam ujub (sambutan pembukaan) yang setengah jam pada tingkeban yang saya hadiri, seorang tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun mempersembahkan hidangan dan maksud baik kepada nabi Adam dan Hawa, Nabi Muhammad, istrinya, dan anak-anaknya dan sahabat-sahabatnya; kepada danyang desa dan anak-anaknya yang menjaga keempat pojok desa; kepada dua roh kembar yang menjaga orang yang terlibat dalam upacara itu yang berasal dari bekas tali pusarnya dan air ketuban ibunya (sebagaimana juga roh kembar yang menjaga setiap orang jawa lainnya) dan yang terus mengikutinya sepanjang hayatnya; kepada panca indra (pengelihatan, pendengaran, peraba, pencium dan indra bicara) dan keempat penjuru; kepada nenek moyang setiap yang hadir; kepada Nini Tawek, bidadari yang menjaga dapur orang jawa, yang oleh wanita jawa suka di beri sedikit sajian setiap sebelum slametan; kepada Tuhan dalam nama jawa dan arabnya (Pangeran dan Allah); kepada makhluk-makhluk halus yang tinggal di kasau-kasau rumah; kepada mahluk-makhluk halus yang menjada pandai besi yang membuat keris dan tumbak di kawah gunung api yang berdekatan; kepada binatang-binatang yang merayap seperti siput dan yang menyusur seperti semut (agar mereka menjauhi makanan itu); kepada ”Ibu pertiwi” yang tidak dirumuskan lebih lanjut; kepada Sunan Kalijaga dan wali-walinya; kepada Baginda Ilyas dan Baginda Khilir, penjaga bumi dan air, dan kepada bayi yang masih berpuasa dan bersemedi didalam rahim ibunya. Dan akhirnya ia menutup pembukaan itu dengan kesaksian seorang Islam: ”Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Dalam tingkeban, sebagaimana dalam smua slametan, di samping hidangan, sajian gabungan baik kepada roh-roh maupun kepada para tetangga, ada lagi sajian khusus untuk makhluk halus secara keseluruhan: yakni sajen. Dengan komposisi yang kurang lebih selalu tetap, sajen senantiasa muncul dalam semua upacara orang jawa dan seringkali disediakan khusus sekalipun tidak ada upacara. Para petani sering menempatkan sajen pada salah satu sudut sawah ketika membajak, menanam, mamindahkan tanaman, menyiangi ataupun mengetam padi. Seseorang yang bermimpi bertemu dengan orang yang telah meninggal, kalau ia merasa bahwa kejadian itu tidak cukup serius untuk mengadakan slametan, akan meletakkan sajen di persimpangan jalan. Dan kebanyakan kalangan abangan di Mojokuto masih mengikuti adat lama untuk meletakkan sajen itu di berbagai sudut kamar dan ambang pintu di sekitar rumah pada kamis malam, yang menurut perhitungan orang jawa sudah merupakan bagian dari hari jumat karena terbenamnya matahari menandai mulainya hari baru. Sajen, yang makna unsur-unsurnya pada umumnya telah hilang, bersama dengan manteranya merupakan perbuatan religius orang jawa yang paling elementer, dan dalam bentuk begini menemukan tempat hampir dalam setiap aspek kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam suatu tingkeban yang diadakan di suatu desa sekitar tiga puluh kilometer dari Mojokuto, sajien yang agak rapi terdiri dari barang-barang ini:
Satu sisir rambut kecil
Satu sisir lain yang lebih bagus
Satu kotak kecil yang dibikin dari karton
Satu model cermin, terbuat dari potongan kaca yang direkatkan satu kertas koran
Sebungkus peniti
Beberapa tenun Jawa
Satu kumparan kayu yang digunakan dalam menenun (ini khusus dalam tingkeban)
Satu kendi air kecil model Timur Tengah
Berbagai jenis bunga, rempah-rempah, dan tanaman jamu dari kebun (sepuluh macam)
Sepotong kemenyan kecil
Satu campuran buah pinang
Sejumlah tembakau
Uang 18,5 sen (harus dalamuang logam kuno,namun yang ini sekarang jarang tedapat)
Sedikit nasi
Sebutir telur (juga khusus untuk tingkeban ).
Semuanya ini ditaruh dalam keranjang daun pisang yang besar yang di beri garis dengan buah pisang dan letakan satu tempat paraundangan duduk.
Bila bagian slametan dari tingkeban itu sudah selesai,sajen itu diberikan kepada dukun bayi yang memimpin upacara berikutnya dan yang biasanya membantu dalam kelahiran nanti. Namun sekarang ini dukun bayi yang melakukan tingkeban tidak selalu menjadi bidan dalam kelahiran, dan bahkan orang yang kemudian melahirkan anaknya dirumah sakit kadang-kadang mengadakan upacara tingkeban bersama seorang dukun bayi. Pola ini adalah sangat umum: untuk suatu pertunjukan wayang, sajen disiapkan dan diberikan kepada dalang; dalam perkawinan dukun manten (spesialis perkawinan)-lah yang menerimanya; dan dalam upacara mewali panen dukun wiwit (“harfiah berarti spesialis yang memulai”)-lah yang memperolehnya. Pada upacara tingkeban mungkin, dukun manten yang tadinya meresmikan pernikahan pasangan itulah yang mengetuai upacara dan bukan si calon dukun bayi.
Ketika sambutan pembukaan selesai, donga (doa dari bahasa Arab) telah dibacakan, hidangan telah dicicipi dan dibungkus untuk dibawa pulang, maka upacara untuk tingkeban yang sebenarnya pun mulailah. Satu bak air yang ditaburi daun-daun bunga disiapkan; air itu teoritis diambil dari tujuh mata air. Konon dalam air mandi serupa itulah para dewa-dewi mandi, dan karena pasangan itu sementara dianggap suci, dan segayung demi segayung air ini disiramkan kepada mereka oleh sang dukun, yang mengucapkan mantera (japa):
Seutas benang tenun jawa kemudian diambil dari, lalu si awnita itu mengikatnya dengan longgar di pinggangnya. Si lelaki mengambil keris jawa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya untuk menghormatinya, dan kemudian memotong benang itu dari bawah keatas di sebelah benang agar terpotong menuju arah dirinya. Keris itu kemudian di sarungkan. Dalam suatu tingkeban yang saya lihat, keris milik nenek moyang ibu istrilah, yang digunakan untuk itu dan kata orang keris itu tidak pernah di pakai untuk keperluan lain, kecuali tingkeban.
Kemudian kumparan untuk menenun dijatuhkan oleh dukun ke dalam seorang wanita itu. Ia di tangkap di bawah oleh ibu si suami dengan sebuah selendang, yang lalu menggendongnya seolah-olah benda itu benar-benar seorang anak. Ibu sang suami akan berkelakar, berbicara kepada kumparan yang yang di timang-timang itu, katanya: ”Oh cucuku laki-laki,” sedangkan ibu si istri akan mengatakan: ”Oh cucuku perempuan.” yang pertama tentu saja dianggap mengharapkan cucu laki-laki, sedang yang kedua mengharapkan cucu perempuan. Dua buah kelapa muda yang di lukisi dengan Janaka dan Sumbadra, tokoh pewayangan dan istrinya, yang oleh orang jawa dianggap manusia paling tampan dan paling cantik, diletakkan didepan sang suami. Ia membelah tiap-tiap buah itu, dengan golok besar, sekali pukul. Kalau kedua-duanya terbelah, itu berarti kelahirannya nanti sangat lancer, tidak ada kesulitan sama sekali. Kalau hanya satu yang terbelah, maka yang tidak terbelah menunjukkan jenis kelamin sang bayi (kalau janaka yang tidak terbelah, bayi itu laki-laki dan seterusnya). Kalau tak satu buah pun terbelah, maka kelahirannya sangat sulit dan mungkin tidak selamat sama sekali. Berbagai gerakan isyarat lainnya seperti menjatuhkan telur lewat sarung sang istri, melemparkan kendi ke luar pintu (yang kedua-duamya pecah) dan sebagainya, sering dilakukan juga untuk melambangkan kelahiran yang mudah.
Sekarang si wanita melakukan pekerjaan rutin ganti pakaian. Dikenakannya kain sehelai demi sehelai, menarik kain yang di pakai sebelumnya dari bawah. Setiap kali melakukan itu mereka berkerumun berteriak-teriak di tengah-tengah keriuhan, ”Oh itu tidak pantas” sampai perempuan mengenakan sarung yang ketujuh dan terakhir, yang disebut tohwatu. Sebuah toh watu, tepatnya berarti suatu tanda pada sebuah batu yang tak bisa dihapus. Sarung toh watu adalah jenis khusus yang di buat dari katun tebal yang tak akan luntur, dan dengan demikian melambangkan hubungan yang abadi antara ibu dan anak sepanjang hayat, karakter pisahan mereka selama hidup. Kemanjuran sarung ibu untuk menyadarkan seseorang yang lagi pingsan telah dikisahkan sebelumnya, tetapi pelambangan ibu-anak dalam pakaian ibu adalah lebih umum lagi.
Kepercayaan yang sama terdapat pula dalam hubungannya dengan haid pertama seorang gadis. Sarung yang di pakainya ketika mengalami dating bulan yang pertama tidak pernah dicuci atau di pakai lagi, tetapi disimpan. Di kemudian hari, kalau anaknya jatuh sakit, ia akan menyelimutinya dengan sarung itu, dan anak itu akan sembuh. Pengobatan ini dianggap lebih manjur daripada yang bisa didapat dari seorang dukun atau dokter.
Upacara tingkeban akhirnya ditutup dengan penjualan rujak legi oleh sang istri, dibantu oleh suaminya, kepada semua yang hadir yang membayarnya dengan sebuah mata uang. Tampaknya tak seorangpun yang saya tanyai ingat akan makna perbuatan ini, walaupun beberapa mengatakan bahwa sang ibu akan menggunakan uang yang terkumpul itu untuk pembeli obat si bayi.
Secara umum, kesadaran yang benar terhadap makna berbagai anasir upacara abangan sangat berbeda-beda dari orang ke orang; dan sementara beberapa orang sangat tertarik dengan serba-serbi keagamaan dan senang memeperbincangkannya, yang lain hanya melakukan melakukan yang diperintahkan oleh mereka yang ”mengerti”, dan hanya menaruh perhatian sedikit sekali kepada arti asal dari apa yang mereka lakukan.
Babaran
Dekat menjelang kelahiran, beberapa orang mengadakan slametan kecil dengan anggota-anggota keluarga saja, yang hidangannya terdiri dari sepiring jenang dengan sebuah pisang yang telah dikupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar, tetapi slametan begini lebih sering ditinggalkan daripada diadakan, bahkan oleh orang-orang abangan yang cukup teguh pun. Dalam keadaan apa pun, jika sudah terasa sakit menjelang kelahiran, dukun bayi langsung dipanggil; dan segera setelah tiba, ia meletakkan sajen di samping tempat tidur si ibu dan kamar kecil (karena makhluk halus di kamar kecil tidak senang pada bau darah yang menyertai kelahiran). Kemudian ia mengembangkan tikar di lantai, mendudukan ibu itu di atasnya dan mulai memijitnya sambil mengucapkan mantera:
Dengan nama Tuhan, yang Pengasih dan Penyayang! Saya berniat membentakkan tikar Dan menempatkan sebuah keranjang yang longgar tenunannya (yakni ibu itu). Kakek Roh Mojokerto, Nenek Roh Mojokerto! Bukalah pintu surga, Tutuplah pintu neraka. Para setan dan roh-roh hajat lainnya, semoga pergilah mereka. Roh-rohmoyang laki-lakimengatakan bahwa tak suatu apa pun yang akan menimpa. Roh-roh moyang perempuan mengatakan bahwa tak suatu apa pun yang akan menimpa. Di mana pun kau berkeliaran, semoga kau selamat, Semoga kau selamat dari semua bahaya dari atas maupun dari bawah, Ke mana pun kau berkeliaran, ke mana pun kau pergi, wahai ibu kecil. Yang akan melahirkan anak.
Setelah anak dilahirkan, dukun mengambil pisau bambu yang tradisional (Welad) untuk memotong tali pusar.
Dengan nama Tuhan, yang Pengasih dan Penyayang! Pisau bambu ini Yang akan saya pergunakan untuk memotong kulit dan daging. Kulit jabang bayi yang baru lahir. “Hiasan logam yang terletak di dalam itu apa?” (tanyanya kepada pisau itu) “Itu adalah logam yang berkekuatan magis!” (jawab pisau itu) Semoga kau (bayi) tidak merasa sakit, semoga terasa biasa. Biasa dengan kehendak Allah ............................................................................................... Sejukan , sejukan – terkena ludahku yang putih Semoga darah putih (anak itu) berkumpul dengan darah putih, Darah merah dengan darah merah. Semoga daging (tali pusar) tertutup, Semoga urat-urat darahnya menyempit dan kulitnya bertaut lagi, Betaut lagi dengan kehendak Tuhan. Semoga tulang berkumpul dengan tulang, Daging dengan daging, Kulit dengan kulit, Darah dalam tulang dengan darah dalam tulang sumsum, Urat nadi dengan urat nadi. Semoga dagingnya tertutup, nadinya mengecil, kulitnya bertaut kembali, Darahnya membeku,-ku-ku, dengan kehendak Allah
Kemudian ia membubuhkan kunir (kunyit) sejenis tanaman obat Jawa untuk segala penyakit pada luka itu dan mengikat tali pusarnya.
Bayi lalu dimandikan, kemudian ibunya, juga dengan mantera-mantera khusus. Tali pusar dan tembuni bayi kemudian dibungkus dengan kain putih, dimasukan ke dalam sebuah kendi, digarami, lalu dikubur di luar rumah. Jika bayi itu laki-laki, tali pusarnya dikubur di depan rumah, jika perempuan di kubur di belakang rumah, walaupun ada juga yang menguburkan keduanya di depa, sebelah kiri pintu untuk bayi laki-laki, dan sebelah kanan untuk bayi perempuan. Sekeliling tempat itu kemudian dipagar dengan pagar beranyaman kecil, atau jambangan tanah yang sudah pecah ditutupi di atasnya untuk mencegah anjing atau binatang lain menggalinya. Sebuah pelita kecil dibiarkan menyala di sana selama tiga puluh lima hariuntuk mencegah gangguan roh-roh jahat.
Penguburan tali pusar adalah perkara yang serius. Seorang perempuan pernah mempersalahkan kematian anakanya, yang kejang-kejang terkena sawan selama empat puluh hari, pada kelailaian sang dukun membubuhkan garam ketika pengubura tali pusarnya dilakukan. Akibatnya, benda itu bangkit lagi dan bayi itu pun mati. Tali dan tembuni yang keluar sesudah kelahiran dianggap sebagai adik spiritual sang bayi, sedang air ketuban yang mendahuluinya (terpancar ke atas, ke udara) dianggap sebagai abang spiritualnya. Selama tiga puluh lima hari pertama mereka ini tinggal di dekatsang bayi untuk melindunginya dari penyakit, yang pertama terhadap penyakit yang datangdari bumi, sedang yang kedua, terhadap penyakit yang datang dari langit. Sesudah itu kedua saudara itu bisa berkeliaran,tetapi tetap menjadi rohpelindung anak itu. Diperlukan pemusatan pikiran, puasa dan bergadang dalam jangka waktu yang cukup lama – apa yang oleh orang Jawa disebut tapa – kalau orang mau berhubungan dengan mereka. Kadang-kadang pisau bambu dan buah kunyit yang jadi obat itu juga dianggap sebagai saudara spiritual dan roh pelindung, hingga dengan demikian setiap orang mempunyai empat pelindung; tetapi anggapan ini tidak begitu umum. Malam itu, suatu slametan kecil yang disebut babaran diselenggarakan, ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih, karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur. Dengan ini slesailah sudah keseluruhan bingkisan mantera dan upacara yang menyertai kelahiran.
Pasara
Lima sesudah slametan pertama untuk bayi dselenggarakan, sebuah slametan yang agak lebih besar, pasaran, diselenggarakan pula, di mana, antara lain, bayi itu diberi nama. Menurut teori, ayah anak itulah yang memegang keputusan terakhir dalam penamaan anaknya, dan biasanya ia mengumumkannya dalam sambutan ujub pada upacara slametan. (sekalipun demikian, ia bisa memberikan kehormatan kepada ayahnya atau mertuanya untuk melakukan tugas itu). Sampai suatu tingkatan yang luas, nama anak ditentukan oleh kategori sosial dimana keluarganya termasuk.
Ada tiga jenis nama yang dipakai orang, tergantung pada kelompok mana ia termasuk: nama dusun, nama priyayi, atau nama-nama santri. Anak-anak desa kadang-kadang diberi nama begitu saja, menurut hari lahirnya, misalnya Senen atau Paing. Atau mereka menggunakan nama-nama sederhana seperti Sidin atau Sirin. Anak-anak perempuan menggunakan nama yang sama juga, hanya dalam bentuk feminim: Sidinah, misalnya. Anak-anak priyayi tinggi biasanya menggunakan Joko atau Bambang di depan nama mereka, sedang anak-anak perempuannya memakai Endang. Misalkan Jokosentosa; sentosa berarti kuat. Atau Bambang Suwarno. Dan untuk anak perempuan, Endang Suwarni. Untuk kalangan santri, nama depan mereka sering Muhammad atau Abdul. Misalnya Muhammad Taha, Abdul Mutalip. Untuk anak –anak perempuan, digunakan Siti: Siti aminah...,kalau orang desa menggunakan nama-nama priyayi, yang dijawabnya bahwa tak seorangpun akan berbuat demikian karena orang akan menertawakannya dan ia sendiri akan merasa malu. Bahkan nama seperti Sasro tidak akan digunakan; nama demikian akan tergesermenjadi Sastro bagi seorang priyayi rendahan, yang berarti”seorang yang bekerja di kantor tetapi tidak punya gelar”. Orang desa tidak akan berani menggunakan ini, tetapi akan memakai nama Setro, mereka akan menggunakan Setrodihardjo dan bukan Sastrodihardjo. Ia mengatakan bahwa dikalangan orang desa nama-nama itu bisa dieja (dan diucapkan) berbeda-beda menurut keadaan apakah seseorang itu santri atau tidak. Seorag abangan akan memanggil anaknya Kalil, sedang seorang santri memanggilnya Kholil; seorang abangan akan menyebut Katijah, sedang santri Khotijah. Kadang-kadang seorang desa yang beragama Kristen akan menggunakan nama rasul-rasul Kristen, seperti Daniel, Musa, dan sebagainya. Tetapi orang kristen yang berkedudukan tinggi, seperti yang ada di sekitar Mojokuto, akan menggunakan nama-nama priyayi.
Karena orang Jawa begitu mudah mengganti nama mereka – sesudah sakit keras, pada waktu nikah, sesudah naik haji ke Mekah, ketika memperoleh pekerjaan baru, pada saat kelahiran anaknya – maka setiap mobilitas sosial atau perubahan kesetiaan dapat disesuaikan dengan gampang. Barang kali nama yang paling umum dipakai anak-anak abangan adalah Slamet, seringkali sebagai akibat dari perubahan nama ketika anak itu mengidap penyakit kanak-kanak. Perubahan itu dimaksudkan sebagai sarana penyembuhan. Kategori-kategori ini tidak berlaku mutlak, tetapi jelas tertanam dalam benak orang,seperti ketika saya menyebut seorang pejabat tinggi yang saya tahu bernama Paidjan (nama yang jelas-jelas abangan),orang yang saya ajak bicara (seorang santri) mengomentari; “wah, ini benar-benar merupakan era baru – sebelum revolusi anda tida akanpernah menemukan seorang priyayi dengan nama paidjan; ia pasti sudah mengubahnya.”Dan kebanyakan orang masih berbuat demikian.
Penentuan waktu pasaran tergantung pada saat terlepasnya sisa tali pusar si anak. Kalau pada hari kelima belum lepas juga, pasaran harus ditunda sampai hari keenam atau bahkan hari ketujuh. Namaun ini jarang terjadi, dan saya jarang menemui pasaran yang jatuh selain dari hari kelima. Pada masa dahulu orang biasa mengundang beberapa santri untuk mengaji dari pukul delapan sampai tengah malam setiap hari sesudah kelahiran sampai sisa tali pusar bayi terlepas; tetapi ini jarang dilakukan sekarang, kalaupun ada pasti bukan di kota. Praktek kuno lainnya yang sudah hilang, sedikitnya di wilayah Mojokuto, adalah menyanyikan syair-syair Jawa kuno pada upacara pasaran; sekarang orang menggatikannya dengan main kartu. Ternyata menyanyikan syair itu biasa dilakukan pada berbagai slametan lain pada masa sebelum perang, tetapi orang tak pernah mendengarkannya lagi sekarang. Hidangan pada pasaran hampir sama dengan hidangan pada upacara tingkeban, tetapi tanpa rujak legi dan ada tambahan makanan ringandari pasar (kerupuk ikan, berondong jagung, penganan dari beras yang diberi gula, dan sebagaianya). Panganan kecil yang agak tak karuan rasanya ini, yang selamanya jadi “nyamikan” kebanyakan orang Jawa, disebut jajan, dan nampaknya selalu saja muncul di mana pun orang duduk-duduk untuk berbincang-bincang dengan orang lain. Kalau seorang teman kebetulan mampir suatu hal yang memang lazim penganan demikianlah yang dihidangkan; dalam pesta kawin, pesta resmi pemerintah dan rapat-rapat politik demikian juga: dan penganan itu dijual dilusinan warung kopi yang tersebar disana-sini sekeliing kota, dimana saban hari ratusan orang duduk dan ngobrol tak berketentuan selama berjam-jam. Dengan demikian jajan adalah lambang dari interaksi sosial yang wajar yang sangat dicintai orang jawa; yang disatu pihak diliputi suasana korek, agak kaku dan penuh dengan formalitas sopan santun yang mekanis (sangat jelas dikalangan priyayi) dan dipihak lainbersuasana bising, sembrono tetapi akrab (sangat jelas dikalangan abangan). Jelas bahwa ini merupakan makna tertinggi yang memang dimaksudkan dalam upacara pasaran, karena jajan itu harus dibeli di pasar, tidak di warung sepanjang jalan. Kata orang, dengan begitu diharapkan bayi itu nantinya tumbuh menjadi orang yang menyukai kerumunan, suasana ribut dimana setiap orang mau bergegas-gegas, dan kebisingan abadi obrolan lucu yang oleh orang Jawa disebut rame, suatu hal yang menemukan penyederhanaan paling utamanya di pasar. Banyak praktek-praktek magis yang secara tradisional dihubungkan dengan pasaran masih dilakukan sekarang. Sehelai benang, lagi-lagi dipintal menurut cara tradisional (walaupun sekarang bisa dibeli di toko) direntangkan di seluruh keliling rumah persis dibawah atap untuk mengusir roh-roh jahat. Pada keempat pojok rumah ditanamkan daun nanas dan satu tanaman yang diberi sulur (carang) dengan maksud yang sama. Dan dari keempat pojok ini dicat hitam dengan arng dan dua lagi dicat putih dengan sejenis kapur. Lalu seseorang menambil sapu tua yang sudah rusak dan menusukan beberapa bambu dan cabe pada lidinya; ini disebut tumbak sewu (tombak seribu). Selanjutnya bidang sebuah alat tenun yang bisa digambari diberi garis-garis hitam berseling putih dengan arang dan kapur. Ini diletakkan di bawah balai-balai sang ibu, bersama dengan sajen yang terdiri dari berbagai makanan, seperti buah pinang umpamanya, yang disukai roh-roh. Roh yang mencoba masuk rumah kemudian akan tersangkut benang yang direntan tadi. Kalau bisa lewat, ia akan kebingungan karena warna hitam-putih pada keempat pojok rumah lalu tertusuk oleh daun nanas atau sulur yang dianamkan disana. Kalau inipun tidak bisa menghentikan dia, maka tombak seribu yang akan menikamnya; atau papan penenun itu yang akan menggampar dia. Kalau ia masih berhasil lolos juga, ia mungkin akan makan sajen dan pergi setelah merasa puas; kalau tidak, maka batas-batas kesanggupan akal budi manusia sudah terlampaui dan seorangpun hanya bisa berharap. Tiga puluh lima hari sesudah kelahiran semua benda ini diambil dan suatu slametan lain diselenggarakan. Ini adalah selapanan, dengan hidangan yang umumnya sama dengan slametan pada hari kelima, tetapi tanpa jajan dari pasar.
PITONAN
Makin sedikit orang yang menyelenggarakan slametan tiga bulan ini dan kalaupun mereka melakukannya, itu hanya perkiraan kecil saja. Tetapi selametan tujuh bulan- atau pitonan masih banyak diselenggarakan, walau kini telah menjadi suatu hal yang kurang penting.
Makanan utama disini adalah semacam puding tepung beras yang disebut jenang, yang dibuat dalam tujuh warna. Sekarang ini pemberian warna itu menggunakan bahan warna yang di beli di tok, tetapi dalam tradisi semula beberapa ramuan-ramuan tumbuhan digunakan. Ada juga tujuh nasi tumpeng dalam bentuk piramid besar, dengan tujuh piramid kecil disekelilingnya disamping rangkaian bola nasi, tiga jenis bubur dan yang lain-lain seperti biasanya. Disini, seperti halnya tingkeban, upacara lebih menonjol dari slametannya sendiri.
Dipimpin oleh dukun wanita, sebagaimana upacara sesudah kelahiran, upacara itu dimulai dengan membangunkan sang bayi pada waktu ayam berkokok atau sekitar pukul 4 pagi dengan meletakkannya di sangkar bersama seekor ayam jago kalau bayi itu laki-laki dan seekor ayam betina kalau bayi perempuan. Ayam itu kemudian dipelihara dengan hati-hati, tak pernah dipotong atau dimakan, karena makinlama ayam itu hidup makin lama pula umur anak itu. Bayi itu kemudian disodori keranjang bambu yang dangkal alasnya, yang telah diisi dengan nasi kuning dan beberapa uang logam. Kalau ia membuang-buang nasi dan kepingan-kepingan uang itu ke sekitarnya, dan biasanya memang demikian, maka dalam kehidupannya nanti anak itu akan berlaku boros; kalu tidak, ia akan jadi seorang yang hemat. Kemudian bayi itu diperbolehkan menjejakkan kakinya ke bumi untuk pertama kalinya. Setelah sampai di tanah, ia di beri sepotong ceker ayam untuk mengingatkan bahwa sebagaimana aym yang hina ini, sepanjang hidupnya ia harus mengais-ngais untuk mencari makan.
Sesudah itu, slametan yang sesungguhnya baru diselenggarakan. Berlawanan dengan hampir semua slametan lainnya, pitonan harus diadakan pagi hari, sebelum pukul 12 siang. Bila semua ini telah dilakukan, anak itu dimandikan dalam bak yang berisi air bunga. Menuju kearah bak ini terdapat tangga (atau batang pisang) dengan tujuh jenjang. Pada setiap jenjang diletakkan semangkuk bubur, yang pertama berwarna merah, yang kedua putih, yang ketiga merah dan seterusnya. Warna merah melambangkan ayah dan warna putih melambangkan ibu. Anak itu menginjaknya satu persatu sampai akhirnya sampai ke bak, tentu saja dengan menjerit-jerit, dan kemudian di mandikan oleh sang dukun. Sejumput rambutnya di gunting oleh para tamu, dilemperkan ke tanah bersama beberapa keping uang untuk pembeli obat. Semua kebiasaan ini sekarang dihilangkan, setelah anak-anak menggunakan model rambut dengan kuncung; sebab tujuan perbuatan itu hanyalah untuk melalui proses penguncungan saja.
Setelah mandi, anak itu dibedaki dengan bedak kuning, diberi pakaian baru, dihiasi dengan bunga-bunga dan duduk dalam slametan miniatur dimana anak-anak tetangga yang berusia antara empat –enam tahun diundang. Slametan mainan ini disebut pancakan ( harfiah berarti ”pandangan baru”) berperan sebagai inisiasi bagi sang anak ke dalam praktek keagamaan menurut tradisi jawa, sebagai perkenalan pertamanya kepada upacara yang akan dilakukan beratus-ratus kali lagi sebelum ia meninggal. Anak itu kemudia diberi baki yang diisi dengan berbagai benda simbolis yang menandakan ciri-ciri bidang pekerjaan atau watak: pensil (guru atau pegawai-pintar); nasi (petani-rajin bekerja); uang (saudagar-kaya); pisau (prajurit-berani). Bidang pekerjaan dan watak si anak dimasa depan diramalkan berdasarkan dua benda yang di ambilnya dari baki itu, walaupin orang yang menginginkan peningkatan kelas tidak segan-segan mengarahkan anak itu untuk mengambil pensil.
Juga bagi sang ibu, pitonan bukan tidak mengandung makna, karena dengan itu ia di bebaskan dari pemali-pemali yang mengurungnya selama tujuh bulan sesudah melahirkan: tidur dengan duduk bersandar pada suatu penyangga, mandi sore hari (sebelum matahari terbenam) dalam bak mandi khusus yang diletakkan di dapur ( kamar mandi yang biasa dianggap penuh dengan makhluk halus); menggosokkan semacam salep dari ramuan berbagai tanaman secara teratur beberapa kali sehari; dan berbagai larangan makanan yang banyak diantaranya sudah mulai sebelum ia melahirkan. Bagi kebanyakan keluarga, pitonan mengakhiri lingkaran slametan yang berpusat pada kelahiran, walaupun beberapa keluarga lainnya menyelenggarakan slametan kecil pada bulan kedua belas.
BAB 5
SIKLUS SLAMETAN : KHITANAN DAN PERKAWINAN
Khitanan : Sunatan
Semacam khitanan mungkin telah ada di Jawa sebelum mulainya jaman Islam pada abad ke-16. Sekalipun demikian, hampir tak ada bekas-bekas upacara inisiasi pra-islam semacam itu yang nampak di Mojokuto. Pada umumnya, upacara untuk merayakan khitanan menyerupai pola upacara perkawinan. Dengan demikian, hidangan pada Slametan Islaman (khitanan, disebut juga sunatan) sama saja dengan hidangan pada Slametan Kepanggihan (perkawinan). Dalam beberapa hal, perkawinan dan khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja pada orang Jawa. Kebanyakan anak laki-laki di Jawa disunat pada usia 10-15 tahun, walaupun ada orang yang menyunatkan anaknya pada usia 5 tahun. Menurut kebiasaan, penyunatan dikerjakan oleh seorang ahliyang disebut calak (atau bong). Dewasa ini banyak orang kota yang menyunatkan anaknya di rumah sakit, yang dikerjakan oleh seorang perawat pria (mantri). Tetapi banyak juga orang yang masih pergi ke seorang calak karena ongkosnya lebih murah.
Sesudah sistem petungan diterapkan dan hari baik dipilih, suatu slametan diadakan pada malam hari menjelang sunatan dilaksanakan. Slametan ini yang disebut manggulan, Adalah persis sama dengan slametan midadareni yang diadakan pada malam hari menjelang perkawinan. Didalamnya dihidangkan berbagai macam panganan dan ditambah sejenis panganan yang dibuat dari beras ketan yang dilumatkan pada talam besar hingga berbentuk sebuah piringan biskuit yang tipis. Panganan itu dimaksudkan untuk melambangkan keinginan bahwa orang dalam slametan ini sudah diratakan sampai kepada satu titik dimana yang ada hanyalah perasaan “dalam” yang tenang, damai dan tenteram. Selain bubur 3 warna (merah, putih, dan campuran), ada bubur keempat yang disebut paru-paru, dibuat dari sekam beras yang ditumbuk. Dimaksudkan untuk memuliakan “roh hidup yang ada di dalam nafas orang yang akan disunat atau dikawinkan itu”.
Berbagai sajen diletakkan di sekitar pojok rumah, di kamar kecil, lumbung dan sebagainya untuk setan-setan. Setelah slametan selesai, anak laki-laki itu diberi jamu yang hangat yang kemudian dipijat oleh dukun pijet dan dibedaki dengan bedak kuning. Pagi harinya ia berendam dalam bak mandi kemudian berpakaian menggunakan kain putih baru dibawah sarungnya, dan sesudah disunat ia duduk diatas kain putih juga. Sajen yang lain disiapkan untuk makhluk-makhluk halus, sementara anak itu membaca syahadat untuk kemudian disunat oleh calak yang menggunakan sebilah pisau yang disebut wesi tawa yang secara harfiah berarti “besi yang tak terasa”. Kalau anak itu jatuh pingsan, ibunya akan mengusapkan sarungnya ke muka anak itu. Dan bila operasi selesai, ia akan ditidurkan di balai-balai pendek. Ibunya akan melangkahinya 3 kali, untuk menunjukan ia juga bebas dari perasaan tersembunyi terhadap anaknya yang bisa menghalangi proses pertumbuhan emosinya dalam meninggalkan kelekatan pada sang ibu menuju kedewasaan sebagai seorang laki-laki.
Perkawinan: Kepanggihan
Dalam masyarakat Jawa, dikenal suatu acara pertunangan yang biasa disebut dengan “tukar cincin”, dimana cincin kawin dipertukarkan antara seorang pria dengan tunangannya. Upacara cincin ini nampaknya sejauh ini hanya berlaku dikalangan pelajar saja sebagai akibat dari masa sekolah yang diperpanjang. Namun, pola lama mengenal lamaran resmi dari orang tua pihak pria masih dilaksanakan, setidak-tidaknya dalam bentuk resminya. Dalam lamaran itu, keluarga pihak pria mengunjungi keluarga pihak wanita untuk saling tukar basa-basi formalisme kosong yang diperkotek dan sudah menjadi keahlian orang Jawa sejak dulu, pertemuan ini disebut nontoni.
Upacara perkawinan itu disebut dengan kepanggihan (pertemuan) dan selalu diselenggarakan dirumah pengantin perempuan. Karena orang tua pihak perempuan yang harus menanggung biaya perkawinan itu, biasanya mereka akan menunggu sampai panen sebelum menyelenggarakan upacara itu. Tetapi apabila pihak laki-laki tak sabar menunggu, ia bisa membantu memikul sebagian dari biaya. Kalau gagal melakukan ini, ia bisa melakukan pernikahan resmi di masjid dan menunda bagian abangan perayaan itu barang enam bulan, sampai ia memperoleh cukup uang untuk melaksanakannya. Anak laki-laki menurut tradisi harus memberikan dua macam hadiah perkawinan kepada perempuan. Paningset yang biasanya berupa perhiasan dan pakaian yang sering diberikan dengan sebuah slametan untuk orang tua pihak perempuan. Sesudah upacara perkawinan ditetapkan dan sasrahan biasanya berupa seekor kerbau/sapi dan perabot rumah tangga.
Perkawinan untuk anak perempuan pertama disebut bubak yang bermakna sama dengan kata babak yaitu membersihkan tanah dan membuka suatu daerah perawan. Perkawinan untuk anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek atau dalam terjemahannya disebut ”penghormatan yang penghabisan”. Sebagaimana dalam islaman,slametan perkawinan diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang sebenarnya. Slametan itu disebut midadareni, dan kecuali do’a tradisional yang mengharapkan agar pasangan ini tidak berpisah lagi, senantiasa seperti mimi dan mintuna.Sesudah slametan, pengantin perempuan mengenakan pakaian yang sangat sederhana, lalu didudukan ditengah rumahnya selama empat jam sampai tengah malam, pada saat mana seorang bidadari turun dan memasukinya untuk tinggal disana sampai lima hari sesudah perkawinan. Sementara itu ibunya melaksanakan upacara membeli kembang mayang “bunga-bunga yang sedang bermekaran”, kembang mayang adalah tumbuh-tumbuhan gabungan yang besar. yang menggambarkan keperawanan kedua pengantin, yang dibuat oleh seorang pria agak tua. Dua kembang mayang dibuat untuk masing-masing pengantin. Bila pengantin laki-laki sudah pernah menikah sebelumnya, maka hanya dibuat dua saja. Bila pengantin perempuan sudah pernah menikah, maka tidak perlu diadakan upacara kepanggihan.
Pada saat yang baik di hari pernikahan, sebelum tengah hari pengantin laki-laki (pengantin perempuan tidak ikut, hanya diwakili oleh walinya) dengan sekalian pengiringnya yang dipimpin oleh modin (pejabat keagamaan desa) ke kantor naib (pejabat keagamaan yang telah diberi wewenang mendaftar dan mengesahkan perkawinan. Dikantor naib itu, sang wali secara resmi meminta naib mengawinkan anak perempuannya dengan pengantin laki-laki. Bagi kalangan santri, ini merupakan bagian terpenting dalam perkawinan itu segera resmi sah di mata Tuhan. Namun bagi kalangan abangan, bagian yang benar-benar penting dari upacara perkawinan ini masih akan menyusul. Menurut tradisi, penganten pria dan wanita (manten) berdandan sebagai seorang puteri ratu dan pangeran, setiap perkawinan memerankan kembali perkawinan kerajaan. Di zaman dulu, seorang priyayi tinggi yang mengawini gadis dari kelas yang lebih rendah tidak akan hadir dalam pesta perkawinan, tetapi hanya mengirimkan kerisnya.
Di Mojokuto, pola busana tradisional itu kini hanya sering didpati di kalangan priyayi. Sementara itu, gadis-gadis abangan di Mojokuto sekarang mengenakan pakaian Barat atau yang lebih umum dan hanya ditambah bunga-bunga. Anak-anak abangan memakai jas barat, bersarung, dan berpeci hitam, yang menjadi lambang nasionalisme dalam berpakaian. Gadis-gadis santri di kota memakai gaun putih bersih dan sehelai kudung, pengantin prianya memakai pakaian barat dan peci hitam. Gadis-gadis santri di desa memakai kudung dengan pakaian Jawa yang biasa. Dalam ritual perkawinan di Jawa terdapat upacara sembah, yaitu sikap tradisional seorang bawahan dalam menghormati atasannya, atau sekedar berjabat tangan menurut Islam (salaman). Dewasa ini orang akan menjumpai upacara sembah hanya dalam perkawinan priyayi. Sementara kalangan santri senantiasa hanya melakukan salaman. Untuk mempelai perempuan yang belum mengalami datang bulan, upacara perkawinannya ditambah suatu upacar khusus yang disebut jago-jagoan, jago-jagoan ini dibuat daribubur kertas atau mori putih dan meletakkan uang cina, beras, sebutir telur di dalamnya.
Aspek Sosial dan Ekonomi upacara Khitanan dan perkawinan
Orang Jawa menyebut upacara perkawinan dan khitanan dengan duwe gawe atau “mempunyai kerja”, dan menganggapnya sebagai contoh yang baik sekali untuk sebuah nilai yang mereka sebut rukun, yang barangkali akan sangat tepat jika diterjemahkan dengan “kerjasama yang dijadikan tradisi”. Sebagai suatu upacara, duwe gawe mendekati generalisasi dan pengikhtisaran kewajiban masing-masing orang untuk rukun, seperti juga kewajiban masing-masing orang untuk rukun, seperti juga kewajiban untuk mentaati institusi lainnya dalam masyarakat tradisional Jawa. Tetapi dalam apa yang bisa disebut sebagai aspek materialnya-cara bagaimana makanan, hiburan, dan kekuatan spiritual yang digerakkanya itu diatur, dibiayai dan dinikmati-upacara itu memberikan suatu contoh yang jelas tentang bentuk-bentuk kewajiban ini dalam praktek yang berlaku. Pada segi konsumsi, aspek sekuler perkawinan dan khitanan biasanya agak terpisah dari aspek-aspek religius yang langsung.
Setelah memperlihatkan beberapa hal tentang berbagai variasi yang tercakup dalam pola-pola pembelanjaan kekayaan pada kejadian duwe gawe, tinggalkan sekarang menggambarkan dari mana kekayaan itu berasal dan bagaimana memobilisasikannya. Seorang yang menyelenggarakan pesta semacam itu memiliki beberapa sumber bantuan. Ia bisa menggunakan tenaga sanak keluarganya dan terutama kalau ia kaya dan memiliki kedudukan tinggi, tenaga teman-temannya juga. Berhutang merupakan sumber ketiga dari berbagai sumber pembiayaan yang mungkin, tidak diperkenankan, paling tidak secara verbal. Untuk slametan yang sebenarnya, menghutang malahan dilarang, sebab hal itu akan membuat upacara tersebut tidak layak menurut kepercayaan. Sumber pembiayaan keempat untuk pesta adalah buwuh, dan mungkin yang paling menarik dalam segi teoritis, karena ia mengungkapkan premis-premis nilai yang menurut pola duwe gawe itu. Buwuh adalah jenis sumbangan uang yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Ternyata buwuh itu semula berupa bahan makanan yang digunakandalam pesta, atau penukaran langsung untuk itu. Jadi buwuh itu sebagaimana juga sumbangan tenaga, secara ideal merupakan suatu bentuk rukun. Di kota, buwuh kadang-kadang dinilai secara sinis sebagai suatu sumber keuntungan, dan banyak orang dikatakan menyelenggarakan peralatan terutama sekali karena mengharapkan keuntungan material dari sumbangan para tamu.
Sekalipun demikian,ada tendensi lain yang sedikitnya merupakan oposisi terhadap komersialisasi ini. Banyak orang berusaha memperoleh prestise melalui perayaan yang mewah, beberapa mencapai ukuran yang sungguh-sungguh mengesankan. Dikalangan priyayi, dimana kecenderungan ini tampak paling jelas pola buwuh yang menyangkut uang ditolak sebagai suatu hal yang tidak senonoh, terutama dalam perkawinan.
BAB 6
SIKLUS SLAMETAN : KEMATIAN
Pemakaman:Layatan
Kalau terjadi kemtian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memanggil modin, dan kedua menyampaikan berita didaerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi. Pemakaman orang jawa dilaksanakan secepat mungkain sesudah kematian.Hal itu dilakukan karena bahwa menurut orang jawaroh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu sampai jasadnya di kuburkan, dan ini berbahaya bagi setiap orang,khususnya bagi keluarga yang di tinggalkan. Makin cepat di kuburkan, maka semakin cepat pula rohnya kembalike tempatnya yang layak.
Lebih dari upacara pergantian tahap yang manapun, upacara pemakamn di hadiri oleh semua orang. Perbedaan kelas, pertentangan idiologi dan perselisihan pribadi sering mengubah kebiasaan menghadiri slametan.Lagi-lagi di Jawa mendapati pengertian bahwa orang harus datang ke pemakaman orang lain agar orang lain nanti datang pula pada pemakamannya.
Setelah modin tiba, ia akan membuka pakaian orang yang mati itu, menutupi kemaluan si mati dengan sarung secara longgar, mengikat rahang mayat dengan tali ke atas kepalanya agar mulutnya tidak terbuka, dan mengikat kedua kakinya jadi satu.Kedua tangan si mayat di silangkan di dada, tangan kanan di atas tangan kiri dan badan jenazah ditidurkan dengan kepala kearah utara. Jasad si mayat di mandikan oleh anggiota keluarga. Para anggota keluarga memeluk jenazah itu di atas pangkuannya, kesanggupan memangku jenazah itu di sebut orang tegel(kesanggupan untuk melakukan suatu pekerjaan yang menjijikan yang buruk atau menakutkan tanpa terguncang dan tetap bertahan sekalipun ada perasaan takut atau tidak enak di dalam) dan jika tak seorangpun yang jadi tegel, mayat itu bias di telentangkan di tiga batang pisang.untukm menjadi tegel tak boleh ada air mata di dekat jenazah, alasannya: air mata itu akan membuat atmosfir menjadi gelap hingga si mati akan kesulitan menemukan jalannya ke makam air mata itu akan membuat roh menjadi bingung hingga ia tak kuasa meninggalkan rumah itu.
Sesudah memandikan semua liang di tutup dengan kapas yang telah di celupkan kedalam minyak wangi tubuhnya dibungkus kain putih yang di ikatkan di tiga tempat (pinggang,kaki dan ujung kepala)oleh modin, dan kemudian beberapa santri mulai membaca Quran di bawah pimpinan modin.Kemudian usungan di bawa ke halaman dan keturunannya berlari kecil pulang balik sebanyak tiga kali untuk melambangkan bahwa mereka iklas,selain itu lambing bahwa mereka iklas adalah sekedar uang receh dalam bungkus kertas kemudian dibagi-bagikan kepada setiap orang yang hadir pada pemakamn itu.Untuk melambangkan iklas juga dilambangkan dengan sebuah kendi penuh air dilemparkan pecah di tanah. Usungan itupun mulai bergerak ke makam di pikul oleh kaum pria, sementara kaum wanita di rumah menaburkan garam agar rohnya tidak datang lagi ke rumah.
Upacara di kuburan berlangsung singkat. Jenazah di angkat dari usungan dan diturunkan ke kubur.Jasad mayat di tidurkan di atas tujuh batu dengan kepala menghadap ke utara. Tali-tali kafan di lepaskan dan wajahnya ditampakan hingga pipinya menyentuh tanah. Kemudian modin menyerukan kalimat syahadat tiga kali di telinga si mayit. Papan lahad kemudian ditutu[kan di tempatnya kemudian di timbuni tanah dan di pasangkan talkin. Modin membacakan talkin yang merupakan rangkaian pidato dalam bahasa arab dan kemudian dalam bahasa jawa.
Kepercayaan dan Sikap Terhadap Kematian
Pada kebanyakan orang jawa kematian agaknya tidak menimbulkan ketakutan yang berlebihan, dan orang berbicara tentang itu secara terang-terangan tanpa menunjukan kecemasan sedikitpun.Tiga pengertian terpisah tentang hidup dan sesudah mati ialah :
1. Adalah versi islam mengenai konsep balas jasa abadi, mengenai hokum dan pahala di akhirat untuk doso-dosa dan amal saleh yang bersangkutan. Kepercayaan ini tentu saja di pegang kuat oleh para santri/.
2. Adalah versi abangan yang terkenal dengan konsep sampurna, yang secara harviah berarti lengkap atau sempurna tetapi yang memnberikan indikasi dalam konteks ini bahwa kepribadiaan individual menghilang seluruhnya sesudah dia meninggal dan tak ada lagi yang tersisa kecuaki debu.
3. Pandangan ini di pegang luas oleh semua orang kecuali santri yang menganggapnya sebagai bid’ah, adalah pengertian dari reinkarnasi(sesudah mati akan terlahir kembali sebagai orang baru).
Orang Jawa sangat memuja nenek monyangya, mereka menghitung hubungan keturunan mereka sampai delapan generasi.Pemujaan ini tidak lebih dari suatu pernyataan hiormat yang tulus kepada almarhum di tambah kesadaran yang baik untuk menghormati almarhumah ayah dan ibi mereka.
BAB 7
SIKLUS SLAMETAN: SLAMETAN MENURUT PENANGGALAN,SLAMETAN DESA DAN SLAMETAN SELA
Slametan Menurut Penanggalan
Berikut adalah slametan penanggalan yang di akui orang jawa :
1. 10 sura; Untuk menghormati kedua cucu nabi yang bernama hasan dan husein.
2. 12 maulud; untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad
3. 27 Rejeb; untuk merayakan mikjaj nabi Muhammad.
4. 1 syawal; untuk merayakan akhir puasa dan menyambut hari raya idil fitri
5. 7 syawal; slametan kecil yang di sebut kupatan
6. 10 besar; untuk merayakan idhul adha.
Mauludan,slametan malam menjelang akhir puasa merupakan slametan paling pentingdari semua upacara kalender jawa.
Slametan Desa atau Bersih Desa
Slametan desa atau bersih desa bertujuan membersihkan dsa dari roh-roh jahat.Ini dilakukan dengan mengadakan slametan diman hidangan di persembahkan oleh danyang desa (roh penjaga desa)di tempat pemakamannya atau juga bias di masjid.Di desa yang tidak brmakam danyang bias di adakan dib alai desa.
Bersih desa selalu di adakan di bulan sela, bulan kesebelas taun kamariah tetapi masing-masing desa mengambil hari yang berbeda –beda sesuai dengan tradisi setempat.Perayaan itu agak berbeda-beda tergantung pada anggapan orang tentang karakteristik pribadi dnyang desanya.Kalau danyang desanya agak bajingan pembakaran candu dan di adakn tayuban,Kalu danyang desanya santri slametannya berupa do’a-do’a dari bahasa arab.
BAB 8
Pengaban, Sihir Dan Maji
Dukun dalam masyarakat santri, priyayi dan abangan salah satunya adalah tabit, juru sihir dan spesialis keupacaraan. Seorang yang mampu menjalankan keahlian disebut dukun biasa atau dikun saja tanpa spesialis khusus, dan dialah yang paling penting. Dia adalah sepesialis magi umumdalam masyarakat tradisional, berguna bagi semua orang yang sakit baik fisik maupun psikologi, peramal kejadian masa depan, penemu barang-barang yang hilang dan biasanya tidak segan mempratekan sedikit sihir kalau memang itu yang diminta orang.
Ada perbedaan yang terdapat dalam dukun priyayi dan dukun abanagan, dukun priyayi cenderung untuk menekankan disiplin pertapa-puasa yang panjang dan mediaasi yang melemahkan badan untuk jangka waktu yang lama dan menganggap bahwa kekuasaan mereka itu seluruhnya sepiritual. Santri biasanya menggunakan ayat-ayat quran yang ditafsirkan secara mistik atau menggunkan potongan-potongan dari tulisan arab yang dilukis dengan hati-hati yang bersifat magis untuk dikunyah dan ditelan, sedangkan dukun abangan lebih menitik beratkan kepada teknik yang spesifik-jimat, mantera. Ilmu yang biasanya digunakan oleh para dukun biasanya diaggap sebagai suatau jenis pengutahuan astrak atau suatu keahlian supra-normal, ilmu itu kadang-kadang dianggap sebagai semacam kekuatan magi. Dari dukun yang benar dikenal luas di Mojokuto dukun itu hanyalah merupakan spesalisali sambilan.
Tenik-tenik pengabatan
Pengobantan dukun menpunyai dua tahap yaitu ; pertama diagnose dan pemilihan metode pengobatan yang tepat, diagnuose dapat didasarkan pada salah satu dari tiga metode utama (numero logi pengetahuan secara meditasi dan penganalisaan simton-simton)
Metode pengobatan sekunder : magi, obat dan obat-obatan baratetode pengobatan dirumah ada beberapa cara dan didukung berbabagai jimat (pisau belati kecil),ada juga teknik khusus yang sudah lama jadi adat untuk jenis penyakit yang khusus seperti pengobatan dengan berudu sebagai obat cacar air, ada beberapa sihir yang digunakan oleh dukun sebagai pengobatan, istilah umum untuk sihir adalah sikir dan jenis yang paling ganas ada tiga yakni tenung, jangges dan santet. bagi kebanyaan orang pergi kemantri merupakan pengganti pergi kedukun hinggan akibatnya para mantra memikul beban pengobatan dalam jumlah yang banyak.
Bab 9
Suatu kultur abangan modern
Pembagian yang kontras antara kuno dan modern tampak paling tajam dikalangan santri yang telah membelah seluruh masyarakat semua katagori, dan dikalangan abangan menyebabkan timbulnya salah satu manifestasi yang paling menarik. Suatu sekte politik-religius dimana kepercayaan keagamaan jawa asli melebur dengan suatu marvisme yang nasionalitis yang memungkinkan para pemeluknya sekaligus mendukung kebijaksanaan politik komunis di Indonesia sambil memurnikan upacara abangan dari sisa islam yang terdapat didalamnya
Permai adalah suatu partai politik dengan perwakilan diparlemen, sebuah organisasi pusat dan sebuah program partai. Permai memakili tiga hal yaitu : suatu kultus pendukungan yang kuat, suatu organisasi yang sangat gigih menentang Islam yang sebagian besar terdiri dari buruh-buruh kota, baik yang pekerja maupun yang menganggur. Kalangan radikal desa yang melarat dan pekerja-pekerja perkebunan dulu dan sekarang dalam rapat kelompok permai pemimpin permai mengatakan bahwa permai adalah ilmu keagamaan yang bertujuan membuat orang menjadi rukun, mampu rukun hidup bersama, damai dan membantu kemajuan satu sama lain dalam zaman baru.
Dokrin tentang perkawinan da pemakaman “buku islam” menimbulkan konflik terbuka antara kaum kabangan dan santri diwilayah mojokuto. Selama tidaka ada keputusan dari pemerinta untuk mengakui permai sebagai agama resmi maka setiap anggota permai yang menikah tanpa mengucapkan kalimat syahadat didepan pegawai agama kecamatan, hal ini dianggap dosa oleh anggota-anggota yang terhormat bahkan atas nama perjuangan anti islam maupun atas nama hak-hak manusia. Para pemimpi permai memprotes keras pemakaman secara islam kepada camat, para modern hanya mencatat nama, umur, penyakit almarhum tetapi dalam kenyataannya modin yang mengurus semua pemakaman upacara mulai dari memandikan, mengkafani sampai menyembayangi manyat.
Bab 10
Santri versus abangan
Inti islam terletak adlam qur’an dan hadist karena qur’an merupakan himpunan firman Allah yang diucapkan oleh nabi Muhammad antara tahun 610 sampai 622 Masehi, sedangkan hadist merupakan kumpulan kisah-kisah pendek yang diceritakan oleh mengenal nabi secara pribadi semasa hiodupnya dan menggambarkan beberapa perbuatan dan ucapan nabi yang kemudian diturunkan orang dari abad ke abad untuk digunakan sebagai pedoman.
Perbedaan santri dan abangan pada pola keagamaan mojokuto yaitu kalangan abangnan benar-benar tidakk acuh terhadap dokrin terpesona oleh detail keupacaraan. Sseorang abangan tahu kapan harus menyelenggarakan selamatan dan apa yang harus menjadi hidangan pokoknya. Sementara dikalangan santri perhatian terhadap dokrin hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual islam yang telah menipis, peribadatan pokok santri adalah sembayang, santri cenderung menitik beratkan pada iman dan keyakinan yang tanpa reserve terhadap kebenaran mutlak agama islam serta sikap tidak toleran yang tegas terhadap kepercayaan dan praktik kejawen yang mereka anggapa sebagai heterodoks. Kedua peerbedaan tersebut terletak dalam masalah organisasi sosial, dikalangan abangan unit sosioal yang paling dasar tempat hampir seluruh upacara berlangsung adalah rumah tangga(istri dan anak-anaknya). Jika ada rumah tangga yang mengadakan selamatan hanya kepala rumah tangga yang dapat mengikuti selamatan itu, bahkan dalam upacara resik desa dikalangan abangan cukup menggabungka sumbangan dari berbagai selamatan terpisah yang dilakukan oleh rumah tangga. Rumah tangga desa itu dari pada suatu upacara secara keseluruhan. Abangan tidak mengenal tempat peribadahan sedangkan kalangan santri yang utama adalah rasa perkauman terhadap umat.
Umat islam dilihat sebagai serangkaian lingkungan sosial yang konsentris, perkauman yang semakin lama semakin melebar dihadapkan kekuasaan dan keagungan tuhan, semua manusia tidak ada artinya mereka adalah sederajat. Mereka terbatas pada kitab dari para nabi (Qur’an dan hadist) untuk berhubungan langsung dengan tuhan.
BAB 11
PERKEMBANGAN ISLAM DI MOJOKUTO
Wilayah Mojokuto dibuka sebagai daerah pemukiman pada sekitar abad kesembilan belas. Pada mulanya penduduk Mojokuto tersebut berasal dari 4 daerah di Jawa yakni daerah Mataram, dataran Brantas, Kediri, dan daerah pesisir utara pantai Jawa. Pada awalnya, mayoritas priyayi dan abangan Mojokuto berasal dari daerah Mataram, meskipun dalam perkembangannya abangan Mojokuto berasal daerah Brantas dan Kediri, sedangkan kaum santri berasal dari daerah pesisir utara Jawa.
Kedatangan orang-orang dari keempat daerah tersebut ke Mojokuto terdiri dari 3 gelombang kedatangan, yakni a) Gelombang migrasi pertama yang dilakukan oleh para petani dari daerah pesisir utara Jawa pada tahun 1860. Mereka merupakan keluarga-keluarga petani santri dari Demak dan Kudus. b) Gelombang migrasi kedua, dilakukan oleh para pedagangan keliling dari pantai utara pada tahun 1910. Pedagang keliling tersebut berasal dari Kudus, Gresik dan Lamongan. c) Terakhir, gelombang migrasi yang dilakukan akibat perluasan bilateral keluarga penghulu Mojokuto yang pada mulanya berasal dari Demak.
Lahirnya Modernisme : 1910-1940
Pada tahun 1915, perkembangan secara nasional terjadi di Mojokuto saat dipimpin oleh kyai Nazir. Ia merupakan tokoh yang tidak hanya mengajarkan agama dan pengetahuan-pengetahuan umum yang tidak didapat di pondok-pondok tradisonal tetapi juga berjuang dalam partai Sarekat Islam. Perjuangan Nazir yang ingin memodernkan pendidikan Islam tradisonal sekaligus sesuai dengan ajaran Islam yang murni tersebut mendapat banyak kecaman dari kaum konservatif Islam Mojokuto sehingga timbul perpecahan dalam masyarakat. Terlebih lagi dengan berdirinya Muhamadiyah di Mojokuto yang bertujuan sama dengan Kyai Nazir tersebut, maka kaum konservatif tersebut kemudian mendirikan cabang Nahdatul Ulama (NU) untuk mewadahi kaum Islam konservatif tersebut. Akan tetapi, dengan diangkatnya salah satu pemimpin Muhamadiyah menjadi naib menyebabkan dimulainya proses rekonsiliasi diantara ke dua belah pihak yang ditandai dengan kaum NU yang telah mulai membuka diri pada modernisasi pendidikan. Para pengikut kedua belah pihak pun semakin berkembang sehingga dengan sendirinya terwujud keseimbangan sosial dalam masyarakat.
Periode Jepang : 1942-1945
Pada masa pendudukan Jepang, baik kaum Muhamadiyah maupun NU yang berpolitik dipaksa bergabung dalam satu organisasi bernama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Para pemimpin kedua organisasi Islam tersebut dibawa ke Jakarta untuk dilatih ilmu politik oleh Jepang dan ilmu ketertiban dalam negeri dan kemudian mereka harus mengajarkan ilmu tersebut di Mojokuto. Para pemimpin Islam tersebut menduduki posisi penting dalam organisasi yang disponsori Jepang maupun posisi birokrasi yang tujuan utamanya memata-matai kaum priyayi dan menyebarkan propaganda Jepang. Mereka yang tergabung dalam Masyumi tersebut benar-benar mengambil manfaat dari pemerintah Jepang dengan mengambil ilmu politik tersebut dan membuang ideologi fasis yang Jepang tanamkan.
Periode Republik : 1945 Hingga Kini
Dengan adanya proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, 2 organisasi militer dimasukkan ke dalam Masyumi yakni a) Hizbullah, suatu batalyon gerilya para pemuda dan b) Sabilillah, pengawal garis belakang. Berkat keahlian diplomatis para pemimpinnya, Masyumi berubah dari organisasi semi militer menjadi partai politik di Indonesia. Akan tetapi, Masyumi mengalami perpecahan dengan keluarnya NU yang mendirikan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia).s
BAB 13
POLA ORGANISASI INTERN
KOMUNITI SANTRI
Berbicara tentang umat Mojokuto secara keseluruhan hampir setiap orang adalah anggota Masyumi atau Nahdatul Ulama. Berbeda dengan kalangan abangan dan priyayi, hampir tidak ada santri yang netral secara politis. Partai politik bagi santri Jawa bukan sekedar suatu gabungan rakyat yang memiliki kebiasaan memilih partai yang sama. Partai-partai itu dianggap dianggap merupakan organisasi sosial, persaudaraan, rekreasi dan keagamaan, dimana ikatan kekeluargaan, ekonomi dan ideologi bergabung mendesak suatu masyarakat untuk mendukung satu perangkat tunggal nilai-nilai sosial yang tidak hanya berkenaan dengan penggunaan kekusaan politik yang layak saja, tetapi juga mengatur tingkah laku dalam berbagai lapangan kehidupan yang berbeda-beda.
Kepemimpinan Politis Religius
Di Mojokuto, konflik kepemimpinan muncul dalam ukuran yang berbeda-beda untuk masing-masing partai. Pada NU, konflik itu berlangsung antara pemimpin yang lebih muda, terpelajar, dan telah terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua yang agaknya lebih menghendaki tetapnya NU dalam garis perjuangan konservatif.
Yang jadi masalah bukanlah soal modernisme lawan konservatisme melainkan apa yang disebut perbedaan sekuler dan perbedaan saleh terhadap modernisme itu. Berdasarkan definisi, tak seorangpun santri bisa menjadi seorang sekularis, dan kenyataannya bahwa kaum modernis berurusan, dikalangan kepemimpinan NU yang menjadi konflik adalah antara kebutuhan untuk memenuhi tuntutan pengikut kolot dan suatu partai modern agar bisa bersaing dengan efektif. Dikalangan pemimpin Masyumi – Muhammadiyah yang menjadi konflik adalah antara keinginan untuk memodernisir Islam dan kebutuhan untuk menjamin bahwa ini tidak akan menuju ke sekularisme. Bahaya pada kelompok pertama adalah kecukupan sosial akan dikorbankan untuk kepuasan keagamaan dan partai itu akan kehilangan efektifitas politiknya, dan pada kelompok kedua yang jadi bahayanya adalah adalah validitas keagamaan mungkin akan dikorbankan untuk efisiensi sosial, yang demikian akan mencabut dasar dukungan massa dari partai itu. Dalam pengertian inilah NU disebut “konservatif” dan Masyumi – Muhammadiyah disebut “modern”.
Kegiatan Politik Keagamaan
Dalam organisasi partai, jalinan yang paling penting terletak antara dewan pimpinan partai di kota. Anggota-anggota dewan pimpinan biasanya berkeliling ke desa-desa untuk berpidato dalam rapat cabang setempat mengenai masalah-masalah politik nasional. Misalnya berpidato tentang islam, yakni mengenai penerapannya dalam masyarakat dan isi etikanya (pengaosan). Metode lain yang digunakan adalah rapat massa, biasanya berpidato tentang masalah-masalah politik dan sosial. Rapat massa di kota biasanya seluruhnya bersifat politis dan sering sangat demagogis.
Organisasi Politik Keagamaan
Usaha NU dan Masyumi untuk mengadakan perbedaan dalam struktur organisasinya di desa-desa dengan membentuk kelompok-kelompok pemuda, organisasi petani dan serikat buruh. Organisasi gadis-gadis muda demikian kerasnya ditentang oleh pemimpin agama di desa, sehingga organisasi itu hanya muncul di lingkungan yang modernis di dalam kota.
STII (Serikat Tani Seluruh Indonesia) di Mojokuto adalah contoh yang paling mengesankan. Semula organisasi itu berurusan dengan pengadaan lumbung padi petani agar mereka bisa menghindari fluktuasi harga. Sekarang STII kurang lebih terdiri dari pabrik penggilingan beras (mereka juga masih memiliki kebun tebu di dekat pabrik) yang memang terbukti berjalan lancar dan menguntungkan.
SBI (Serekat Buruh Islam) merupakan semacam “organisasi front Islam” yang dimaksudkan untuk merendahkan antagonisme kaum buruh terhadap Islam pada umunya dan Masyumi pada khusunya. Muhammadiyah barangkali adalah organisasi swasta yang paling efektif dari segi tekhnis di seluruh Mojokuto. Ia tidak hanya menggembar-gemborkan doktrin dan merencanakan program, tetapi melaksanakan begitu banyak hal. Dan dari segi sosial barangkali ia merupakan organisasi yang cukup dengan dri sendiri.
Kegiatan Muhammadiyah ada dua pokok yakni amal kemasyarakatan dan pendidikan, yang masing-masing berada dibawah komisi tetap khusus. Dalam bidang amal kemasyarakatan adalah dengan mendirikan panti asuhan yatim piatu dan ikut andil dalam pengadaan zakat fitrah. Kiai secara tradisional menyandarkan kepada zakat dari desa-desa mereka untuk membantu pondok-pondok mereka. Dan dewasa ini partai-partai politik mulai menganggap sebagian dari zakat yang digunakan untuk membiayai perang sah digunakan untuk membiayai kampanye politik mereka.
Yang menjadi kebanggaan lain adalah adalah sistem sekolahnya. Sistem sekolah itu dibiayai melalui sumbangan organisasi, uang sekolah dan melalui pengurangan gaji guru-guru yang agak besar. Dan masalah yang dihadapi adalah soal memperoleh guru-guru yang memenuhi syarat dan bagaimana membuat mereka betah mengajar.
Konservatif lawan Modern : Oposisi yang Berimbang
Dengan berjalannya waktu, partai-partai politik rupanya makin lama makin bertambah penting sebagai dasar organisasi sosial kaum santri di desa maupun di kota, menggantikan ikatan kedaerahan yang lama dengan ikatan ideologi. NU yang tujuannya adalah untuk “membangunkan kiai yang tertidur”, berusaha untuk mewadahi bentuk-bentuk ikatan sosial keagamaan tradisional yang berpusat disekitar pondok dalam struktur partai politik yang modern. Sedang Masyumi – Muhammadiyah mencoba mengganti bentuk lama dengan mengajukan beberapa model buatan kota yang membuka berbagai kemungkinan baru. Semuanya ini merupakan kelompok-lelompok referensi sosial pokok bagi kaum santri di Mojokuto.
BAB 14
SISTEM PENDIDIKAN SANTRI
Pondok : Pola Tradisional
Di pusat sistem sosial terdapat pondok, yang sering kali disebut pesantren. Sebuah pondok biasanya terdiri dari guru yang umumnya seorang haji yang disebut kiai, dan sekelompok murid laki-laki yang disebut santri. Bangunannya pokoknya biasanya terdiri dari masjid, rumah kiai, dan sederatan asrama untuk para santri.
Walaupun dalam beberapa hal pondok mengingatkan pada biara, tetapi santri bukanlah pendeta. Mereka yang sudah menikah tidak diperkenankan menjadi santri, bukan karena ada hal-hal yang dianggap tidak kudus dalam perkawinan itu, tetapi semata-mata karena kewajiban dan tanggung jawab kehidupan keluarga bertentangan dengan pola kehidupantak teratur yang menjadi ciri suatu pondok.
Karenanya, yang ada dalam pondok bukanlah sistem biara, tetapi suatu sitem dimana tiap ahli agama yang lebih tua menetap dalam akademinya sendiri, dan para murid datang dan pergi semaunya, membiayai diri sendiri dengan bekerja, mengaji sebanyak yang diinginkanny, dan memperbincangkan masalah agama dengan rekan-rekannya. Seorang santri bukanlah orang suci yang magang, ia hanya seorang anak muda yang menjadi dewasa di lingkungan keagamaan, menjadi dewasa denga gemuruh pengajian islam. Dan para kiai, guru dan cendekiawan adalah orang-orang yang paling tinggi prestisenya di kalangan umat.
Langgar dan masjid : Komuniti Santri Lokal
Langgar sama saja dengan masjid, hanya ia lebih kecil dan sering kali merupakan milik pribadi. Biasanya langgar merupakan bangunan terpisah di samping rumah pemiliknya. Biasanya ada satu langgar dalam rukun kampung yang terdiri dari sekitar dua puluh lima-tiga puluh keluarga dan dimiliki oleh seorang petani yang lebih kaya, maka terjadilah kristalisasi di kalangan umat yang tergabung dalam masjid desa.
Demikian pembagian kerja dikalangan umat Islam di pedesaan. Anak orang kaya pergi ke Mekah untuk menemukan arti dan bentuk Islam yang sebenarnya. Anak-anak yang menginjak dewasa pergi mengaji ke pondok-pondok. Dan orang dewasa mengaji di langgar mereka dan mengajarkan kepada anak dan istri mereka tentang pokok-pokok ajaran Islam.
Tarekat : Mistik Islam Tradisional
Mistik merupakan fenomena lain dari kehidupan keagamaan pedesaan melampaui garis yang memisahkan para magang yang belum menikah dan pendatang yang belum menikah dan menghimpun orang-orang dewasa kembali ke pondok.
Di berbagai pondok sering terdapat kumpulan mistik rahasia, seperti klub-klub eksklusif yang biasa ada di universitas. Ada juga praktek mistik di langgar-langgar, orang-orang yang menghitung tasbihnya selama berjam-jam. Tetapi barangkali bertuk utama mistik adalah persaudaraan orang-orang tua yang berkerumunan di sekitar kiai yang ahli dalam ilmu itu.
Mistik semacam itu di Jawa disebut tarekat. Di Jawa Timur terdapat dua sekte utama yakni Kodiriyah dan Naksabandi. Mereka biasanya berjalan atas dasar teori perkembangan dasar mistik, antara lain sarengat (menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang lazim), tarekat (tekhnik mistik yang khusus), hakekat (kebenaran atau kenyataan), dan makrifat (pengertian).
Metode yang dipakai adalah menghitung biji tasbih yang dilakukan dengan 99 biji yang diikat dan dipisahkan dengan 33 biji putih sebagai penyeling, sambil dengan tanpa suara mengulang kalimat-kalimat suci.
Sekte mistik semacam ini telah merosot jumlahnya sejak bangkitnya modernisme, yang menentangnya dengan keras namun tidak musnah sama sekali. Salah satu faktor yang paling menentukan dalam hilangnya kekuatan sekte-sekte mistik di Jawa adalah pembersihan Mekah oleh kaum Wahhabi di bawah Ibnu Sauddi tahun dua puluhan.
Dari Pondok ke Sekolah : Sistem Pendidikan Santri di Mojokuto
Kemenangan Ibnu Saud memberikan sentakan positif bagi Indonesia terutama sekali pada gerakan bersekolah yang mengalami kemajuan pesat sesudah tahun 1924. Di Mojokuto gagasan tentang sekolah telah menembus kemana-mana, dan orang pun akan menjumpai aneka tipe lembaga pendidikan, antara lain :
a) Pondok murni yang tak mengenal kompromi dan tidak memberi ruang kepada pendidikan modern
b) Persaudaraan mistik yang tidak peduli kepada kepada ketidak setujuan umum kepadanya, bahkan dari kalangan konservatif uang agak lunak sekalipun
c) Pondok yang telah memasukkan perkiraan-perkiraan kasar dan siap untuk sekolah model Barat
d) Sekolah yang dipimpin oleh kaum konservatif yang sekalipun sudah mengarah ke pola Barat namun masih memperhatikan pelajaran agama
e) Sekolah-sekolah modernis, diajarkan dengan cara yang sama sebagaimana mata pelajaran lainnya
Pola Pondok di Mojokuto
Sekitar tahun 1930 sedikitnya ada enam pondok besar dan banyak pondok kecildi wilayah yang berdekatan dengan Mojokuto. Namun sekarang hanya ada dua pondok besar dan sebelas pondok kecil. Kebanyakan asrama merupakan sumbangan masyarakat santri Jawa Tengah, dan konsekuensinya kebanyakan muridnya pun berasal dari wilayah-wilayah itu dan bukan dari Mojokuto.
Mata pelajaran yang biasa diajarkan adalah Fiqh (tentang hukum agama Islam yang berhubungan dengan pelaksanaan rukun-rukun agama dan hubungan perorangan), Tasawuf (filsafat mistik Islam dan makna agama), Tauhid (logika Islam dan Teologi), Falak (untuk menghitung jadwal waktu sembahyang, penanggalan puasa, dsb), Tafsir (ulasan agama baik dari Qur’an maupun Hadist).
Madrasah : Sekolah Konservatif di Mojokuto
Sekolah-sekolah NU disebut madrasah, yang berati sekolah agama yang berbeda dengan pondok. Di madrasah, delapan puluh persen dari kurikulum disediakan untuk pelajaran agama, sedang dua puluh persen disedikan untuk pengetahuan umum (membaca, menulis, dan berhitung sederhana). Karena sekolah-sekolah itu dibiayai oleh lokal, sifat mengurung dirinya menjadi sempurna dan usaha para pemimpin kota yang leboh modern untuk meningkatkan standar dan memperbaiki organisasinya selalu menghadapi banayk kesulitan.
Dalam usaha untuk menyempurnakan beberapa hal, NU Mojokuto pada tahun 1953 mendirikan sebuah muallimin / sekolah guru, yang direncanakan untuk melatih guru-guru berbagai madrasah. Sekolah muallimin berlangsung tiga tahun yang materinya separuh agama dan separuh pengetahuan umum. Tujuan di dirikannya adalah untuk melatih guru-guru yang agak modern untuk bisa memperbaharui sekolah desa ke arah metode yang lebih progresif. Sekolah ini terletak di Kauman Mojokuto.
Sekolah Agama Modern di Mojokuto
Tonggak berikutnya dari pondok ke sekolah diduduki oleh sekolah lama Serekat Islam yang kini ada di bawah Badan Pendidikan dan Pengajaran Islam (BPPI) atau sekolah arab. Ini adalah sekolah dasar enam tahun.
Pola pengajarannya serupa dengan sekolah dasar NU, namun presentase pelajarannya enam puluh persen umum dan empat puluh persen agama. Karena BPPI sekolah swasta tertua dan salah satu Sekolah Dasar tujuh tahun pada zaman revolusi, maka mengajarkan mata pelajaran umum dalam bahasa Belanda. Ia masih dianggap sekolah dasar santri par excellence.
Usaha Muhammadiyah diarahkan kepada sekolah lanjutan, meskipun ia juga memilki sekolah dasar yang kenyataanya mengalami kesulitan karena menghadapi persaingan dengan BPPI. Muhammadiyah juga mengasuh sebuah Taman Kanak-kanak yang belum sekolah yang dinamakan Diniyah yang hampir sama seklai tidak mempunyai ciri keagamaan dan di ikuti oleh anak-anak santri. Tetapi sekolah lanjutanlah yang dianggap sebagai jantung Muhammadiyah.
Tak seperti sistem NU, sistem sekolah Muhammadiyahsepenuhnya berpolakan sistem sekolah negeri. Usaha Muhammadiyah bukanlah membuat sendiri suatu sistem sekolah Islam yang konsisten dan sempurna, tetapi mengorganisirsistem swasta yang sejajar dengan sistem nasional dan dapat diambil keuntungannya.
Kelebihan vitalitas program pendidikan Muhammadiyah yaitu usaha untuk membentuk semacam sistem sekolah sedaerah dengan :
a) Koordinasi kurikulum dengan persamaan mata pelajaran dan jumlah jam pada masing-masing sekolah, mempermudah pertukaran guru, dsb
b) Menjaga keseimbangan standar pada setiap sekolah, sehingga seorang murid dapat gampang pindah kelas tanpa ada kenaikkan atau penurunan kelas.
c) Penunjukkan seorang penilik sekolah untuk meneliti sekolah yang berguna dalam peningkatan mutu sekolah
d) Secara teratur mengadakan pertemuan pengurus sekolah untuk menyeragamkan kebijaksanaan
e) Mengadakan Pekan Pelajar Muhammadiyah
Agama di sekolah Negeri di Mojokuto
Kelas empat, lima, dan enam SD negeri mendapatkan pelajaran agamaIslam dalam bentuk sangat sederhana yang diajarkan oleh dua orang Muhammadiyahyang digaji oleh Departemen Agama. Pelajaran ini bebas untuk siswa mengikuti atau tidak mengikutinya, namun kebanyakan dari mereka mengikutinya, sebab sangat tidak sopan bagi orang Jawa untuk menghina guru dengan menarik anak mereka dari pelajaran itu. Pelajaran yang diajarkan meliputi, bagaimana bersembahyang, sifat-sifat Tuhan, siapakah Nabi, dan tentang budi pekerti.
BAB 15
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM :
ISLAM DAN NEGARA DI MOJOKUTO
Hukum islam merupakan sesuatu yang sangat menjiwai kebudayaan islam karena lewat hukumlah perintah-perintah Tuhan yang diberikan dalam Qur’an diterjemahkan menjadi perintah yang kongkrit untuk perbuatan sekuler. Hukum islam dimana-mana harus berkompromi dengan adat istiadat setempat, hal tersebut sejalan dengan ulama dan hakim yang saleh yang berusaha memperluas hukum suci itu dalam keseluruhan kehidupan dalam masyarakat dan usaha tersebut ditolak oleh orang yang kurang saleh. Jadi, pelaksanaan hukum selalu merupakan pusat perhatian praktis para pemimpin tiap Negara islam yang penting sekali. Di Indonesia, kompromi antara hukum islam/suci dengan adat yang telah berakar barang kali lebih berat dicapai, sebagai contohnya di tingkat mojokuto. Suatu bentuk sosial yang ketiga disampig sistem partai dan jaringan sekolah islam, dimana orientasi keagamaan santri dicanangkan pada birokrasi keagamaan.
A. ORGANISASI UMUM KEMENTRIAN AGAMA
Birokrasi keagamaan dasamakan maksudnya dengan Departemen Agama dan biro-biro serta jawatan bawahannya,yang melaksanakan semua peraturan pemerintah mengenai agama.Maksud dan tujuan Departemen Agama adalah mengurus kaum santri dari atas sampai bawah.
@ Skema Departemen Agama :
Fungsi Informal Departemen yang paling penting adalah Memberikan pekerjaan kepada orang-orang islam yang berhak mendapatkan suatu fungsi yang sangat berharga dipandang dari segi perlindungan bagi para pemimpin pertain santri yang tengah berusaha membangun jaringan setempat.
Biro Urusan Agama merupakan biro yang paling besar dari keempat biro dalam skema Departemen Agama dan satu-satunya memiliki cabang sampai mojokuto.
Tugas-tugas dari Biro Urusan Agama Adalah :
v Tata laksana teknis departemen secara keseluruhan
v Pelaksanaan hukum perkawinan dan perceraian
v Pelaksanaan hukum pengadaan dan pemeliharaan lembaga keagamaan / wakaf
v Mendaftar dan melaporkan keadaa masjid swasta dan memeriksa keuangannya
v Penyelenggaraan haji
v Mengumpulkan berbagai macam data statistic
Jawatan Peradilan Agama mengatur peradilan agama,yang fungsinya akan memberikan fatwa kepada mereka yang memintanya mengenai hal-hal yang sulit dalam hukum islam dan memberikan izin perceraian kepada wanita yang mengadu kerena ditinggalsuami atau diperlakukan secara buruk,menurut syarat-syarat yang membolehkan perceraian serupa itu termuat dalam perjanjian perkawinan.
B. ORGANISASI LOKAL DEPARTEMEN AGAMA
Dalam suatu ibukota kecamatan seperti mojokuto,dimana hanya ada satu Kantor Agama (KUA) fungsi apapun dari ketiga jawatan lainnya yang harus dilaksanakan dalam tahap itu atau disalurkan melalui itu atau lazim dikerjakan langsung oleh kantor kabupaten atau provinsi.Kepala KUA setempat adalah “naib”.Dalam tatanan baru mestinya ada seorang Kepala Kantor Urusan Agama diatas naib,hingga orang-orang Kristen tidak dapat berdalih bahwa kantor itu seluruhnya adalah untuk urusan orang islam.Tetapi di mojokuto hal ini belum dilembagakan dan naib mengepalai kantor itu sebagaimana biasa menurut tradisi.Tugas utamanya meliuti pengarahan umum dari kantor itu serta pengaturan perkawinan dan perceraian.
C. PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
Secara ideal, dari segi pandangan seorang santri, KUA harus berurusan dengan pelaksanaan seluruh hukum islam tetapi dalam kenyataannya terbatas pada hal-hal disekitar perkawinan,talak dan rujuk.
D. YAYASAN KEAGAMAAN DAN NAIK HAJI
Suatu yayasan keagamaan disebut dengan wakaf. Wakaf biasanya diberikan oleh donor kepada kiai setempat, atau kadang-kadang kepada naib yang dengan demikian menjadi pelaksana tetapi bukan pemilik, karena itu dianggap sebagai milik Tuhan. Beberapa masjid, langgar, madrasah, pondok, dan sekolah-sekolah islam di wilayah itu adalah wakaf.
Pengorganisasian ibadah haji ditangani langsung dari kantor kabupaten,sementara kenaiban hanya mengurus statistik mengenai jumlah haji,memberikan keterangan mengenai prosesnya, dan sebagainya. Ibadah haji itu diatur dengan cermat dari awal sampai akhir oleh Departemen Agama. Orang-orang yang dalam kenyataannya diperbolehkan naik haji.hanya mereka yang mendaftar kembali dari tahunyang lampau diberi prioritas. Sebenarnya pembatasan jumlah haji itu dirasakan tidak begitu sulit oleh umat,hal tersebut dikarenakan ibadah itu tidak sedemikian popular sebagaimana sebelumnya.
E. PROPAGANDA KEAGAMAAN DAN PEJABAT KEAGAMAAN DESA
Pegawai-pegawai kenaiban juga ditugaskan member penerangan kepada massa pedesaan tentang dasar-dasar islam dan tentang apa yang sedang diusahakan oleh Departemen Agama, yaitu suatu tugas yang mereka laksanakan dengan berkeliling kedesa-desa di wilayah kecamatan itu untuk memberikan ceramah mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan tugas kantor itu.
Mediasi utama kepentingan Departemen Agama kedesa-desa dilaksanakan oleh “modin”. Modin itu dipilih seumur hidup oleh warga desa. Tugas-tugas keagamaannya ada dua belas macam :
1. Mengurusi mayat untuk pemakaman dan menasehati keluarga yang ditinggalkan mangenai tata cara pemakaman
2. Menjaga agar perkuburan tetap rapi
3. Melayani orang yang bermaksud menikah untuk dibawa kenaiban
4. Melaksanakan tugas-tugas untuk mengurus perceraian
5. Melaksanakan tugas-tugas untuk mengurus perkawinan ulang yang dilakukan setelah orang tersebut bercerai
6. Memberikan fatwa mengenai waris menurut hukum islam
7. Melaksanakan penyembelihan sapi, kambing, atau domba yang harus dilaporkan kepada camat sesudah memeriksa dagingnya
8. Berdoa dalam slametan kalau diminta melakukannya
9. Memberi nasihat dan hiburan kepada orang yang ditinggal mati oleh sanak keluarganya
10. Menjaga agar zakat dikumpulkan dengan cara yang benar dan tidak digelapkan
11. Menjawab serangan terhadap islam dan mempertahankannya dari kritikan-kritikan kaum kafir
12. Memberikan teladan kepada orang-orang desa setempat
Modin juga menjadi penghubung utama antara hukum islam bagi hamir semua orang abangan dan banyak santri yang kurang terpelajar,dengan begitu kekuasaan mereka cukup besar.
F. DEPARTEMEN AGAMA DAN PARTAI POLITIK SANTRI
Dua masalah yang agaknya umum memerlukan pembahasan dalam hubunganya dengan birokrasi keagamaan adalah tentang hubungan antara birokrasi dengan stuktur partai yang bersayap dua dan tentangtempat birokrasi dalam hubungannya dengan perumusan islam tentang masalah yang menjadi perhatian semua teori politik keagamaan.
Mengenai masalah partai,perjuangan untuk memperebutkan kursi naib dalam keluarga yang telah mendominasi kenaiban sejak didirikan di Mojokuto. Pengadaan jabatan yang lebih tinggi dalam suatu birokrasi yang semula hamper seluruhnya lokal, yang menghasilkan stabilitas kedudukan dimana seseorang yang diangkat sebagai naib akan tetap menjabatnya sampai dia wafat, telah digoyahkan dan diganti dengan suatu sistem dimana ada pergantian teratur dalam personalia dan perlombaan menurut kedudukan yang terus menerus. Jadi penguasaan birokrasi keagamaan setempat merupakan masalah yang penting dalam percaturan politik partai dan cenderung untuk memiliki arti penting buat organisasi umat pada umumnya, bahkan menentukan pilihan masjid juga.
Birokrasi agama dan struktur partai itu jalin berjalin, cara melayani kepentingan partai lewat penguasaan berbagai jawatan deartemen, atau caranya birokrasi member jawaban terhadap tekanan dan desakan politik partai. Suasana politik dimana Departemen Agamanya mendapat dukungan kecil dari bagian terbesar pimpinan partai bukan santri, usahanya itu terbukti tidak berhasil.
G. NEGARA ISLAM : PENDEKATAN SANTRI TERHADAP MASALAH GEREJA DAN NEGARA
Masalah yang tersembunyi di belakang persoalan ini maupun di balik Departemen Agama pada umumnya adalah masalah yang oleh kaum terpelajar barat dipandang sebagai hubugan antara Gereja dan Negara.Rumusan ini sangat tidak cocok dengan teori politik islam,karena tiadanya Gereja dank arena ideal teoritis tentang teokrasi absolut dengan darul islam yang telah ada dalam islam. Negara islam bukan hanya merupakan gagasan yang angat kabur bagi hampir setiap yang menganutnya, tetapi juga sepanjang ia berarti bagi seseorang, ia mempunyai arti yang sama sekali berlainan bagi setiap orang.
Kaum modernis, dipihak lain menerangkan walaupun juga menyetujui Negara Islam tetapi cenderung utuk membatasinya sampai kepada pernyataan sebuah Negara Islam umum yakni dilaksanakannya hukum bahwa tak ada orang yang bukan islam menjadi Kepala Negara dan suatu ketentuan konstitusional yang mengatakan bahwa semua hukum harus sesuai dengan jiwa Qur’an dan Hadist dan menyerahkan segala pelaksanaannya kepada pembuat undang-undang sendiri. Meskipun demiian sejumlah pemimpin partai dan guru agama menentang keras hal ini,karena khawatir terhadap kecenderungan umum di dunia yang biasanya menjadikan hal yang sementara menjadi tetap dalam hal-hal yag bersifat pemerintahan, yang dalam hal ini akan mengurangi dasar perjuangan untuk Negara Islam.
Namun kenyataannya, jenis pemikiran politik yang dilakukan orang dalam semua partai cenderung untuk menghalang-halangi hal ini,karena tiap kelompok memandang perjuangan politik tidak hanya sekedar sebagai suatu proses saling penyesuaian antara berbagai kepentingan mereka yang berbeda sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar.
BAB 16
POLA IBADAT SANTRI
Kehidupan ibadat santri diatur dalam waktu oleh sembahyang lima kali yang diulangi setiap hari dalam bentuk sederhana yang sama. Dalam ruang, ia dibatasi oleh tiga lingkaran sosial yang makin hari makin inklusif, yang ditegaskan oleh tiga lembaga tempat sembahyang dilakukan secara khas :
1. Rumah
2. Langgar di kampung
3. Masjid desa
A. SEMBAHYANG
Salat atau sembahyang merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim diseluruh dunia. Salat ditetapkan tidak hanya waktunya, tetapi juga bentuk dan isinya, karena perbedaan yang tajam antara ibadah wajib dan doa perorangan yang sukarela, yang mungkin dilakukan oleh orang untuk memohon sesuatu kepada Tuhan demi kepentingannya sendiri yang bias dilakukan kapan saja, dan dengan bagaimana saja.
Pola sembahyang sesuai benar dengan khas kehidupan sehari-hari petani. Dikota, pola sembahyang tidak sebainya itu kesesuaiannya, walaupun para pemilik warung selalu bias meluangkan waktu lima menit untuk melakukan sembahyang. Seorang santri mengatakan bahwa seorang santri sering tidak suka masuk tentara karena tugas rutin militer sering menyulitkannya melaksanakan salat.
B. SALAT JUMAT
Sembahyang jumat berjamaah mencerminkan lambing kebersamaan umat seluruh desa dan perasaan memiliki masjid sendiri demikian kuatnya,bahkan hingga orang-orang yang berpindah dari desa ke kota yang berdekatan sering kembali ke masjid di desanya hanya untuk melakukan salat jumat berjamaah.dalam sistem khotbah salat jumat,mengatakan bahwa kebanyakan masjid yang konservatif enggan melakukannya dan selalu menggunakan khotbah-khotbah berbahasa arab yang ditulis bertahun-tahun yang lampau oleh seorang kiai jawa yang termahsyur dari semarang. Namun pola ini umumnya terbatas pada kota saja. Bahkan dimasjid desa yang lebih modern pun yang menerima khotbah-khotbah terjemahan biasanya masih mengenai soal-soal agama saja.
C. PUASA
Pada bulan puasa,ketika kegiatan yang benar-benar bersifat keagamaan tiba-tba meningkat dan kegiatan yang semata-mata sekuler dikendorkan. Sesudah matahari terbenam setiap hari di bulan puasa setiap orang mekan sekenyang-kenyangnya dan kemudian berkumpul dilanggar untuk melakukan sembahyang malam sesudah itu taraweh dan darus. Taraweh terdiri dari salat-salat tambahan sebagai kewajiban-kewajiban tambahan pada bulan puasa walaupun sebenarnya salat itu sendiri bersifat sukarela selama bulan puasa. Darus adalah pembacaan Qur’an ayat demi ayat,ini juga bersifat sukarela, dan ternyata dirasaan kurang resmi dibandingkan dengan teraweh.
Bab 17
Latar belakang dan dimensi umum kepercayaan dan Etiket Priyayi
Pertumbuhan Sebuah “Tradisi agung “
Robert redfield menunjukan orang desa yang belum beradab itu pra –melek –huruf (pre-literate),dijawa orang melakukannya tak lama sesudah tahun masehi mulai maka terjadilah perpecahan (yang redfield sebut transformasi )tradisi budaya homogeny suku yang bias mencukupi diri sendiri ,karena tradisi budaya ini sekarang harus melayani dua struktur kota yang sophisticated dan secara ekonomis tergantung kepala desa dan struktur desa yang bersifat dusun dan dari segi budaya bergantung pada kota.
Kita tidak akan mendapati petani tanpa priyayi (gentry) atau priyayi tanpa petani.tradisi petani sebagai pengasaran daripada priyayi atau priyayi sebagai penghalusan daripada petani tidak begitu penting.akan tetapi ada suatu dialog cultural yang terus berlangsung antara priyayi dan petani suatu pertukaran bahan budaya yang konstan dimana bentuk kekotaan mengabur menjadi kasar dan tengelam kedalam masa petni dan bentuk kedesaan yang terelaborasi menghalus dan meningkat dalam elite kota.
Dengan demikian dalam peradaban non –industri sudah berkembang terdapat khas melek huruf yang memerintah dan buta huruf diperintah , priyayi mewakili tradisi agung sebagaimana petani mewakili kecil dan keduanya dipengaruhi seperti halnya dijawa oleh hindu – buda dan islam,
Priyayi dan petani dijawa
Kaum abangan adalah kaum petani jawa,sedang priyayi kaum aristokratnya.agama abangan mewakili sintese petani tas unsure yang diterima dari kota dan warisan kesukuannya suatu sinkretisme potongan – potongan tua dari sumber yang disusun menjadi satu kesatuan besar untuk melayani kebuuhan rakyat yang bersahaja dan menanam padi dipetak irigasi.
Kaum priyayi umumnya berada dikota – kota ,bahkan salah satu cirri jawa modern secra sosiologis paling menarik adlah besarnya jumlah priyayi dokota –kota .kaum priyayi tidak mampu menjadikan mereka priyayi tuan tanah ,mereka ini sedikit sekali kecuali bukanlah baron – baron tuan tanah dengan hamba – hamba atau setengah hamba pengolah tanah dalam perkebunan besar.sebagian besar adalah birokrat, klerk, guru – guru bangsawan yang makan gaji.
Unsur bangsawan ssekarang kurang penting .priyayi menurut istilh aslinya –menunjuk kepada orang yang biasa menyelusuiri asal usul keturunnanya sampai kepada raja – raja besar jawa jaman sebelum penjajahan,yang setengah mitos, tetapi sejak belanda memerintah jawa lebih dari tiga ratus tahun memperkerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi kekuasan pengertin priyayi meluas termasuk kebanyakan orang ditarik dalm birokrasi akibat persediaan aristikrat asli sudah habis .bahkan di mojokuto yang sebagai ibukota kewedanan dan kecamatan mewakili jangkauan birokrasi pusat terendah karena bias diduga pejabat – pejabatnya pun tidak termasuk tinggi, toh perasaan penting nya turunan bangsawan masih hidup.
Konsep dasar pandangan dunia priyayi
Petani bargantung pada pangeran priyayi bukan hanya perlindungan militer tetapi juga priyayi memiliki lingkaran cahaya mistik magis disekitarnya yang oleh max weber disebut karisma.kekuatan spiritual mengalir keluar dan kebawah dari pancuran kerajaannya yang makin menipis ketika merembes menembus tiap lapisan dalm birokrasi dan akhirnya mengalir lemah kedalam masa petani. Petan dan raja ,pusat dan pingiran ,puncak dan dasar ,tuhan dan mahluk,yang sacral dan profane sekarang merupakan batas koordinatb tongkat pengukur metafisik dan social priyayi ,sepasang konsep yang sentral bagi pandangan dunia priyayi ; alus dan kasar.
Alus berarti murni ,berbudi halus halus tingkah lakunya ,sopan ,indah sekali ,lembut ,halus beradab .seorang berbicara bahasa jawa tinggi(kromo – inggil) secara mulus adalah alus ,seperti halnya bahsa jawa tinggi itu sendiri Pandangan priyayi orang harus mengerti makna sepasang konsep lain; lahir dan batin .batin berarti wilayah dalam pengalamn manusia dan lahir wilayak luar tingkah laku manusia.kedua pasang konsep ini yang dalam dan yang luar,dianggap sebagai wilayah yang lebih terpisah atau mungkin lebih tepat disebut secara berurutan .penertiban kehidupan luar tidak selamanya disusul dengan penertiban kedalam .orang yang beradab perlu member bentuk ,baik kepada sikap –sikap fisik yang kasar secara alamiah membentuk tingkah laku luarnya dan kepada keadaan perasaan yang naik turun yang termasuk pengalaman dalamnya. seorang benar - benar alus senantiasa sopan,penataan kehidupan luar memang lebih mudah untuk mendukungnya .
Priyayi lawan abangan : perbedaan umum
Priyayi tetap menjadi pimpinan budaya dan sepanjan bersangkutan dengan masyarakat pribumi ,pimpinan politik walaupun tiap orang tahu pokok kekuasaan dalam masyarakat yang telah pindah ke tangan asing .perhatian priyayi pada etiket seni dan mistik berlangsung terus begitu pula peniruan petani terhadap bentuk –bentuk yang mereka kembnagkan .
Orientasi keagamaan priyayi lebih sulit untuk dibedakan dengan abangan daripada santri ,karena perubahan dari suatu politeisme asia tengara yang sinkretik(atau animisme ,kalu kedewaan merupakan istilah yang paling tinggi untuk diterapkan pada danyang ,tuyul dan demit ) kepada suatu monoteisme timur tengah agak lebih besar daripada pergeseran dari agam itu kepada panteisme hindhu – budha.ciri –ciri yang akan dibicarakan dala hal priyati ini tidak semata – mata khas mengenai raja. Orkes gamelan dan pertunjikan wayang , misalnya tak dapat dikatakan misalnya tak dapat dikatakan tidak ada dalam kehidupan petani tetapi itu dimasukkan dalam konteks ini karena pemelihraan dan penjelasan makana filosofis dan keagamaan serta variasinya yang terperinci dalam konteks priyayi
Walaupun orientasi priyayi dan abangan ,dari segi budaya untuk sebgian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing – masingnya ,tetapi keduanya diorganisasikan disektr tipe tipe strktur social .
Literati Lawan intelegensia
Dalam kelompok priyayi ada semacam pembedaan yang bias dibandinkan dengan pembedaan konservatif – modern yang telah diuraiakan dalam hubunganya dengan abangan dan santri.perbedaan antara dua kelompok tidak sedemikian tajam sebagai mana perbedaan kolot modern diantara kalangan santri .kebanyakan priyayi dalam pandangan mereka memiliki baik aspek literati maupaun intelegensia,.pada umumnya kalau kita mendaki tangga kedudukan kearah kota pelabuhan besar dipantai utara – Jakarta ,Surabaya –semarang unsur – unsur literati barangsur angsur berkurang dan intelegensi bertambah hingga dilinkungan Jakarta ,kalau kita mengabaikan antropologi fisik kita akan sulit untuk mengatakan bahwa itu bukannya dinegeri belanda .begitu pula sebaliknya, kalu kita mendagi tangga kedudukan dalam pusat –pusat kerajaan besar pedalaman maka kita akan dapati kecenderungan bertumbuhnya unsure unsure literati,walaupun intelegensia tidak perlu menurun.namun, pada umunyaintelegensia dan literati cenderung berpadu pada seorang ,dengan hanya sekedar penekanan pada yang satu atau lainnya.kata orang berbuatlah persis seorang raja yang konservativ mistik dan tradisional didalamnya istananya dan berbuatlah sebagaimana seorang pemimpin politik yang progresif.
Priyayi pada tingkat menegah dan atas cenderung untuk berbahsa belanda, dan bukan berbahsa jawa, dan mereka yang lebih tinggi tingkatnya melakukan sampai saat ini dimana merka hanya menggunakan bahasa jawa ngoko untuk menyuruh para pembantu mereka hamper tak biasa mengucapkan bahsa ibu mereka.Kaum priyayilah yang pada masa sebelum perang mempeoleh keuntungan dari pendidikan yang disediakan belanda untuk orang jawa ( beberapa diantara mereka malahan bersekolah disekolah anak – anak belanda). Yang bekerja sebagai kerani dan adminisatur kecil dipabrik gula belanda .perusahaan impor –ekspor dan perusahaan angkutan. Adalah dari mereka beberapa gelintir orang jawa dipilih untuk dididik dinegeri belanda dan pada umunya menjadi jemaah haji priyayi kemekahnya dunia barat.
Dari semua ini, munculah suatu model untuk aristrokasi jawa yang akan menjadi pola tiruan bagi orang biasa ,suatu model yang didasarkan atas pendidikan antenar barat yang menitik beratkan bahasa belanda, sejarah ,kesustraan dansopan santun nilai nilai belanda.
Dimensi umum kepercayaan priyayi
Tiga titik utama keagamaan ,priyayi adalah etiket seni dan praktek mistik.ketigannya merupakan usaha berurutan dari priyayi selagi ia bergerak dari permukaan pengalaman manusia menuju kedalamnya,dari aspek kehidupan luar ke aspek dalam.matarantai yang menghubungkan ketigannya yang mengikat jadi satu dan membuatnya menjadi hanya cara yang berbeda dari realitas yang sama adalh apa yang oleh orang jawa ,dengan meminjam konsep dari india ,disebut rasa.
Rasa memiliki dua arti utama : perasaan dan makna ,sebagai perasaan ia merupakan salah satu panca inddera melihat, mendengar bicara mencium, dan merasa.didalamnya tergantung tiga aspek perasaan yang menurut pandangan kita tentang pancaindera terpisah,rasa pada lidah ,sentuhan pada tubuh dan rasa emosi dalam hati kesedihan ,kebahagiaan dan sebagainya. Dengan menunjukan rasa untuk menunjukkan arti perasaan dan makna priyayi telah mampu mengembangkan analisa fenomenologis tentang pengalaman subyektif kemana segala sesuatu yang lain dapat dikaitkan.karena pada dasarnya rasa dan makna ,adalah satu dank arena itu pengalaman religious tertinggi subyektif juga merupakan kebenaran religious tertinggi yang obyektif .
Peranan Etiket
Tembok itu jadinya adalah tembok etiket. Etiket memperlengkapi priyayi alus, dengan serangkaian cara cara formal yang kaku dalam mengerjakan segala Sesuatu yang membunyikan perasaan yang sebenarnya dari orang laen .lagipula, etiket demikian mengatur tingkah laku diri sendiri mapun orang laen hingga tak memungkinka memberi kejutan yang tidak menyenangkan.
Dalam model percakapan yang dktekan kepada saya oleh informan –informan priyayi yang mengejar saya bahasa jawa
Sopan santun berbahasa
Bab 18
Peranan seni klasik
Seni non santri dibedakan dalam tiga rumpun :
A. Rumpun “seni alus”
· Wayang
· Gamelan
· Lakon
· Joged
· Tembang
· Batik
B. Rumpun “seni kasar”
· Ludrug
· Kledhek
· Jaranan
· Dongeng
C. Rumpun “seni nasional”
· Orkes
· Lagu – lagu
· Kesusastraan
· Bioskop
WAYANG
Dari ketiga rumpun seni tersebut, yang pertama (komplek seni alus), sekaligus juga merupakan seni yang paling tersebar luas, yang paling berakar dalam, paling dielaborasi secara filosofis dan religious yang terakhir ini dilakukan oleh para priyayi. Pusat kompleksnya yaitu wayang.
KISAH - KISAH WAYANG
Di mojokuto dalam tiap kesempatan hampir semua wayang yang dipertontonkan mengisahkan kisah-kisa mahabarata. Tiga kelompok utama dalam kisah mahabarata yaitu :
1. Dewa – dewi para dewa dan para dewi yang dikepalai oleh batara guru dan istrinya, sebagaimana dalam epos yunani, para dewa tidak semua nya baik.
2. Para satria raja dan bangsawan kerajaan jawa purbakala.Dalam teorinya, orang – orang jaman sekarang adalah keturunan para satria. Karena dalam pewayangan digambarkan tokoh – tokoh yang berperaan seperti tentara kerajaan. Seperti misalnya :
a. Para pandawa, lima saudara yang memerintah Negara Amerta – Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa (Nakula dan sadewa adalah kembar). Pandawa biasanya disertai raja Kresna, Raja Negara tetangga Dwarawati, yang merupakanpenjelmaan Wisnu dan sekaligus penasehat Pandawa.Dua tokoh tersohor lainnya dalam pandawa adalah Gatutkaca, anak Bima yang dapat terbang.
b. Para Kurawa, seratus ksatria Astina yang dipimpin oleh suyudana, Sengkuni, Durna dan Karna, saudara seribu pandawa yang membangkang. Walaupun mereka adalah sepupu pandawa, Kurawa telah merebut Astina dan menimbulkan perselisihan. Namun dalam perang besar Bratayudha, kurawa dikalahkan.
3. Para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), Semar, ayah dari Punakawan merupakan seorang Dewa dalam bentuk manusia, suadara Bhataraguru, raja para dewa,. Sekaligus “roh” pengiring orang jawa dari mereka lahir sampai mati. Semar merupakan tokah paling penting dalam mitologi wayang.
PANDANGAN ABANGAN LAWAN PRIYAYI TERHADAP WAYANG
Pertunjukan wayang merupakan suatu slametan abangan yang meriah dan sebuah bentuk seni yang secara halus melambangkan pandangan dan etik priyayi. Ia memang secara harfiah dilihat dari dua sudut. Wayang sudah berakar dalm kultur jawa, hingga bahkan seorang santri modernis yang tidak menyukai wayang akan mengakui bahwa seorang perlu melihat sesekali pertunjukan wayang. Di satu pihak, wayang merupakan bagian dari pola keagamaan abangan yang ritualistic dan magis, dan dari pihak lain merupakan dari pola keagamaan priyayi yang mistik dan spekulatif.
Di pihak abangan, wayang merupakan drama popular tentang tokoh legendaries, tetapi wayang juga merupakan bagian dari suatu slametan. Acara – acara seperti pernikahan, khitanan dan mauled nabi merupakan acara yang sangat cocok dengan akan diadakanya pertunjukan wayang tersebut. Sebagaimana dalam slametan setiap orang yang menonton wayang dianggap slamat dari segala bahaya(ritual).
PENAFSIRAN PRIYAYI TENTANG WAYANG
Jadi, apakah makna wayang bagi para priyayi?
Pertunjukan wayang mempunyai maksud utama yaitunsuatu pertunjukan yang menggambarkan suatu lukisan pikiran dan rasa dalam, ia menggambarkan konflik diri individu yang antara apa yang ingin ia lakukan dengan apa yang menurut perasaanya harus dilakukan.
GAMELAN MUSIK JAWA
Merupakan pendukung wayang dalam pertunjukan untuk mengungkapkan nilai – nilai priyayi, jalinan antara wayang dengan gamelan sangatlah erat ,contohnya dalam suatu pertunjukan yang sedang pada latar perang gamelan lah yang akan memperkuat suatu jalan cerita tersebut. Adapun cara lan untuk mengawinkan gamelan dengan wayang yaitu dengan menggunakan gending untuk dapat lebih menghidupkan suasanya yang sedang diceritakan , bermain atau mendengarkan gamelan merupakan suatu disiplin spiritual , bukan hanya sekedar hiburan yang ada pad masyarakat dea mojokuto , para warga masyarakat sering memainkan sebuah alat gemelan sebentar pada malam hari yang bertujuan yaitu untuk menenangkan hati para warga masyarakatnya.
TEMBANG : SAJAK JAWA
Musik gamelan pun ada hubunganya dengan sastra maupun sandi jawa dengan mengiringi sajak jawa, tembang adalah sajak dan lagu sekaligus.
JOGED : TARI JAWA
Ada dua jenis jogged ; tarian putri klasik , srimpi dan bedaya, yang ditarikan oleh para remaja putri saja dan teri yang lebih terkenal yaitu yang sering disebut dengan wayang wong. Srimpi dan bedaya merupakan suatu taian yang dilakukan secara kelompok, dan sampai saat ini tarian ini sudah jarang dilakukan dan biasanya ada pada masyarakat keratin, sedangkan yang dimaksud dengan tarian bedaya yaitu gadis – gadis dewasa yang belum menikah yang biasanya diambila dari kalangan orang biasa (selir sultan) .
Wayang wong dapat dikatakan sebagai seni yang kurang abstrak, timbul baru sekitar abad kedelapan belas yang meruppakan suatu bagian dari kebangkitan seni klasik jawa .
BATIK : PENCELUPAN TEKSTIL JAWA
Batik merupakan suatu unsure dalam komplek seni alus, adalah metode untuk membuat corak yang selanjutnya akan dicelup dan yang sebagianya lagi tidak melalui proses pencelupan, dengan menggunakan lilin yang sebagai penahan celupan. Warna dari tiap batik dan corak dapat menentukan batik dari mana tersebut, namun dewasa ini kira-kira 95 persen produksi batik menggunakan metode cap.
SENI JAWA KLASIK
Wayang, lakon, gamelan, jogged,
PERANAN KESENIAN RAKYAT
Sandiwara Rakyat : Wayang Wong,Ketropak,dan Ludrug
Dimulai pada abad ke-19 dan makin menanjak pada abad ke -20,suatu bentuk kesenian baru telah menanamkan akarnya di kalangan masa jawa yakni sandiwara panggung serio-comic popular. Ada banyak versi bentuk kesenian ini – ketoprak di jawa tengah (di ketemukan akhir 1923);ludrug Surabaya, sandiwara lelucon di jawa barat ; dan bentuk wayang wong yang sangat dipopulerkan.Walaupun masing-masing cenderung untuk mendramatisasikan jenis kisah yang berbeda-beda’ ,namun semua nya mempunyai kesamaan-kesamaan : prolog setengah jam yang mempertunjukan adegan lelucon para pelawak rendahan dan atau beberapa tarian alus; pokok cerita, yang selalu merupakan lelucon serio-comic,yang apa pun sifat mitis isinya, tetapi dimainkan secara realistik;peranan perempuan biasanya dimainkan oleh wadam ; dan akhirnya,sebuah bentuk produksi komersial dengan rombongan-rombongan professional keliling,menonton dengan keharusan membayar,dan dekor”teater”.
Wayang Wong, Ketoprak dan Ludrug dipertunjukan dalam rumah pertunjukan dari kayu di pinggir selatan kota,milik seorang cina atau di pasar malam keliling. Pasar malam ini, yang sangat mirip dengan pasar malam barat dengan berbagai jenis permainan dengan taruhan,ujian ketangkasan, berbagai pertunjukan tambahan dan sebagainya,walaupun barangkali tidak begitu meriah,dating ke kota itu(dengan sponsor cina)sekali atau dua kali setahun.Pada umumnya,karena tingkat permainannya sangat rendah,kecuali rombongan ludrug yang sangat trampil,pertunjukan-pertunjukan itu kebanyakan hanya menarik para petani dan orang - orang kota kelas rendahan.Pertunjukan - pertunjukannya biasanya didominasi oleh para pelawaknya,sebagaimana tampak dari synopsis wayang wong yang saya lihat berikut ini,karena disini para satria alus terdorong ke belakang oleh kelakar dan degelan semar dan kelompoknya.
“Semar,Petruk,Gareng,dan Kesaktian
………...Layar naik sesudah gamelan (semua sandiwara semacam itu selalu diiringi dengan gamelan) bermain sebentar. Lima penari serimpi yang sekaligus menari dan menyanyi-kelompok yang paling kedodoran yang pernah saya lihat,karena salah seorang adalah cebol.mereka kasar,mekanis dan salah latihan.gaya solo.
Setelah itu cerita di mulai. Raja Madura mengumumkan kepada sekelompok orang bahwa siapa pun yang dapat merebutnya dari raksasa itu boleh mengawininya.arjuna menerima tantangan itu,dan dia bersanma semar berangkat mencari putri itu.
Penari jalanan : Kledek,jaranan dan janggrung
Unsur berikutnya dalam kompleks seni kasar adalah kledek, kadang-kadang juga di sebut tandak; perempuan penari dan penyanyi jalanan,yang bermain baik karena di sewakan maupun dengan berjalan dari pintu ke pintu sepanjang jalan kota, di pasar, bahkan di desa-desa.Dalam hal terakhir ini mereka seringkali tak lebih dari pengemis dan memang ditanggap demikian. Mereka berdiri di depan sebuah sebuah rumah atau took- muka mereka biasanya di bedaki tebal-tebal dengan perias muka berwarna putih,hasil pertumbuhan dari pola penari topeng lama – dan menyajikan sebuah lagu untuk sejenak himgga seseorang memberinya sepuluh sen agar lekas pergi.Beberapa di antara mereka agak lebih terampil,dan ditemani oleh satu atau dua orang yang memainkan gamelan, menarikan tari srimpi dan bedaya tiruan yang jelek yang di campur dengan unsure-unsur dari sumber-sumber rakyat.
Yang agak mirip dengan kledek adalah jaranan,juga sebuah pertunjukan penari jalanan.Dalam jaranan ini para penari mengendarai kuda dari karton(jaran berarti kuda) dari menjadi kerasukan hingga berlaku seolah – olah mereka sendiri kuda; berjingkrak-jingkrak,meringkik,makan butiran padi(juga cabe,pecahan kaca,dan sebagainya),dicambuki dan seterusnya.Mereka juga merupakan rombongan keliling yang berkelana dari kota ke kota untuk bermain di jalan – jalan atau di pasar.
Tayuban : Pesta Orang Jawa
Ada lagi bentuk kesenian lainya di mana kledek memainkan peranan utama dan yang masih cukup popular di Mojokuto.Ini adalah tayuban,sebuah kombinasi dari kata pesta minum - minum dan menari yang biasanya di adakan pada peristiwa upacara peralihan tahap dan sebagainya.Sebuah gambaran dari polanya yang diberikan oleh seorang infornan mojokuto. Mengingat sifat orang jawa pada umumnya,yang luar biasa tenaganya tayuban agaknya bukanlah merupakan peristiwa yang khas,’ Walaupun pada suatu ketika pernah popular di kalangan priyayi,tayuban makin lama makin menjadi milik abangan yang sudah sangat terpengaruh kota – supir, pengajian kecil dan lain- lainnya yang melihat dalam tayuban itu suatu kombinasi dari kemaksiatan Timur dan Barat yang menarik dan pastinya menarik juga bagi petani abangan yang kaya di desa-desa yang menanggapnya sebagai pencerminan dari kenakalan kota yang menggairahkan.Tetapi kalangan priyayi pun ternyata dari waktu ke waktu masih mengadakan tayuban,camat mengadakan tayuban pada larut malam ketika mengadakan pesta perkawinan anak gadisnya- dan memperoleh Rp.1.500,00 dalam prose situ ; dan suatu desa disebelah,mengadakan juga tayuban untuk perayaan bersih desa di mana hanya priyayi kota saja yang di undang,sedang untuk rakyat setempat disediakan pertunjukan wayang secara terpisah. Pada umumnya tayuban yang terlalu mahal bagi kalangan abangan dan terlalu kasar bagi kebanyakan priyayi makin menghilang.
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat jawa,kisah-kisah yang tidak dimainkan dalam wayang tetapi di ceritakan secara lisan, di Mojokuto biasanya disebut dongeng.Di dalamnya termasuk kisah-kisah moral dan legenda di sekitar tempat- tempat keramat ; dongeng – dongeng tentang jaman Hindu-jawa yang menerangkan asal – usul peninggalan-peninggalan tua; dongeng-dongeng serupa itu yang ada hubungannya dengan kesaktian beberapa benda keris,gong,dan sebagainya yang disebut dongeng – dongeng pusaka ; dan dongeng – dongeng binatang.
Kebanyakan kisah benda pusaka adalah panjang-panjang dan berbelit-belit yang membuat orang dating dari tempat yang jauh untuk “menghormati” pusaka tertentu-tertentu seperti gong di Ludaya (kota yang berdekatan) yang sebenarnya adalah harimau yang berubah bentuk (dengungan gong itu merupakan raunganya). Pada zaman dahulu ketika orang-orang Ludaya tak punya lekukan di bawah hidungnya bias sekehendaknya menjelma menjadi harimau lalu memangsa tetangga-tetangganya yang malang.
Tentang dongeng binatang ada ribuan juga jumlahnya tetapi yang paling tersohor dan paling digemari adalah kisah kancil,binatang yang licik,banyak akal,dan sangat pintar walaupun agak amoral yang mengimbangi kekurangan kekuatan jasmaninya dengan memakai kecerdasannya.
Kisah-kisah semacam itu mungkin diceritakan kepada anak-anak di hamper setiap rumah di Mojokuto. Kancil biasahnya dengan tegas sekali dianggap sebagai lambang “orang kecil” dan petani yang berbicara tentang priyayi sering mengutip pepatah : “ Gajah sama gajah bertarung, kancil matio di tengahnya”.Kebanyakan kisah binatang jelas mengandung pesan nilai sebagaimana kisah berikut ini tentang bahayanya menggunakan perantara:
Komplek seni kasar seperti ludrug,kledek,jaranan dan dongeng harus diakui tidak demikian terjalin atau terpadu sebagaimana halnya dengan komplek seni alus tetapi semua unsure-unsurnya turut memberi ekspresi pada etos yang lebih bersahaja yang sesuai dengan rakyat yang pandangan dunianya menganggap kehalusan budi-bahasa sebagai suatu ideal yang bagus tetapi tidak begitu menarik dalam praktek.
Seni Konterporer
Apa yang saya sebut “seni nasional” hamper seluruhnya terbatas pada kota-kota dan bagaimanapun juga tidak selalu dianggap sebagai seni oleh rakyat Mojokuto namun hanya sebagai hiburan belaka.
Meskipun ada beberapa keberatan dari kalangan konservati,bentuk kesenian nasional-tidak hanya film tetapi juga orkes,lagu popular,novel,dan sebagainya- terus bertambah popular.saya menyebutkan kesenian nasional karena beberapa alas an.Kesenian ini tidak hanya terbatas di jawa ; demikian pula tidak ada sesuatu yang khas jawa di dalamnya jika dibandingkan dengan berbagai wilayah Indonesia lainya seperti sumatera atau sulawesi. Sepanjang mengenai sastranya ia selalu dalam bahasa nasional, atau bahasa melayu-Indonesia,dan tidak dalam bahasa “daerah” jawa.Sebagian di tampilkan dalam media masa yang tentu saja tersebar keseluruh kepulauan – radio,film,dan majalah yang beredar secara nasional. Ia dimainkan dan disukai oleh kelompok-kelompok yang sama, kebanyakan pemuda kota yang selalu berada di barisan depan nasionalisme.Ia merupakan bentuk yang lazim di kota-kota pelabuhan –surabaya,Jakarta-dimana bentuk-bentuki kesenian pribumi sudah melemah di tengah-tengah kehancuran kebudayaan pada umumnya ; dan ia sangat digemari oleh kalangan elite politik baru yang memegang kekuasaan di kota-kota itu.
Orkes dan Penyanyi Populer
Dalam segi musik,komplek kesenian nasional diwakili oleh orkes yang berasal dari kata orkest, perkataan belanda untuk apa yang dalam bahasa inggris di sebut orchestra,dan lagu-lagu popular. Orkes terdiri dari instrument petik yang mengikuti tangga nada barat yang diantonik,bukan tangga nada gamelan yang pentatonic : banyo, gitar,biola,bas petik, mandolin dan ukulele. Kadang-kadang ada juga terompet,yang digunakan tambahan pada kesempatan khusus,paling tidak di Mojokuto.Ada tiga orkes semi professional serupa itu di Mojokuto,yang satu di antaranya bubar tak lama sesudah berdiri. Mereka bermain musik pada perayaan-perayaan seperti perkawinan dan khitanan dengan upah antara Rp.50,00 sampai Rp.125,00 tergantung pada meriahnya perayaan itu dan apakah ada permainan luar yang didatangkan untuk meningkatkan mutu permainan orkes itu-seperti misalnya pemain terompet tersebut diatas atau penyanyi dari luar.Kebanyakan orkes beranggotakan antara lima dan enam orang dan seorang vokalis perempuan.(beberapa pemain musik,biasanya malahan semuanya,merangkap juga sebagai vokalis lelaki karena biasanya tidak ada anggota yang semata-mata hanya memainkan instrument saja) Anggota-anggota itu bukan hanya bermain musik pekerjaanya melainkan juga sebagai seorang penjahit,tukang cukur,kelerek rendahan,polisi,dan sebagainya ; namun ini tidak berarti mereka tidak bercita-cita jadi pemain musik professional.
Lagu-lagu(atau lebih tepatnya lagu-lagu populer)yang dimainkan dan dinyayikan oleh ansambel-ansambel itu terdiri dari berbagai jenis.Beberapa diantaranya dalam bentuk Barat(biasanya Amerika Latin) seperti irama rumba atau samba,dan dibuat kalau tidak oleh para penulis lagu barat yang disesuaikan dengan lirik Indonesia(yang bias saja merupakan terjemahan dari kata-kata atau bukan sama sekali).Oleh komponis Indonesia,cina atau malaisia.
Keroncongan yang semula didasarkan atas musik rakyat Eropa Selatan yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa portugis pada abat ke 16 – khususnya ke Indonesia Timur : Flores,Timor dan Maluku dimana pengaruh Iberis dan dalam kenyataannya kebanyakan orang Mojokuto menyebut semua yang popular apa pun gayanya sebagai “keroncong”.Syair-syair dari kebanyakan lagu-lagu ini cenderung menjadi agak sentimental :
Saputangan dari Bandung Selatan
Saputangan sutra putih dihiasi bunga warna
Tanda kasih jaya sakti
Di selatan bandung Raya
Diiringi kata nan merdu mesra
Terima kasih Dik
Janganlah lupa
Air mataku berlinang
Saputanganmu kusimpan
Ujung jarimu kucium
Serta doa kupanjatkan
Selamat jalan
Selamat berjuang
Bandung Selatan jangan dilupakan.
Sebuah lagu yang kurang sentimental didasarkan atas kepercayaan tradisional (yang beberapa kali saya dengar benar-benar di percayai di Mojokuto) bahwa sebelum seseorang gadis menikah ia akan mimpi di gigit ular.Lagu ini,yang dianggap agak jenaka,yang sangat popular pada bagian pertama dari masa tinggal saya di Indonesia bertubi-tubi disiarkan di radio dari pagi hingga malam :
Impian Semalam
Pemudi :Waktu semalam,Bung
Aku bermimpi
Bertemu ular,Bung
Besar sekali
Ular menggigit,Bung
Jari kakiku
Setelah menggigit,Bung
Ular berlalu
Kupijat-pijat,Bung
Darah keluar
Aku menjerit”aduh”
Hingga tersadar.
Pemuda : Jangan kwatir,Dik
Jangan berduka
Suratan takdir,Dik
Allah seramnya
Impian semalam,Dik
Mengusir awan
Bintang pun terang,Dik
Terang cuaca
Bunga di taman,Dik
Sedang berkembang
Tak lama lagi,Dik
Dipetik orang
Demikian itu,Dik
Arti maksudnya
Impian semalam,Dik
Mimpi bahagia.
Slain kisah-kisah sentimental ada juga lagu-lagu jenaka,lagu agung dan lagu-lagu politik.salah satu lagu yang paling popular di Mojokuto adalah lagu-lagu yang dimulai dengan “mari kita pergi/mari kita pergi/ke pemilihan umum……..”. Lagu yang lain mengagitasi penyerahan irian barat kepada Indonesia dari tangan belanda,suatu isu politik yang panas).
Kesusastraan Kontenporer,Drama dan Flim
Dalam bidang kesusastraan,kesenian nasional terdiri dari novel modern(roman),puisi(syair),cerita pendek(kisah) dan sandiwara yang ditulis dalam bahasa Indonesia,barangkali lebih biasa oleh orang-orang yang bukan jawa,karena sumatera ternyata melahirkan jumlah penulis Indonesia modern yang demikian banyaknya.Novel dan cerita pendek itu dijual dalam bentuk buku atau dimuat di majalah-majalah di ibukota kabupaten,yang setelah itu beredar dari teman ke teman.Beberapa majalah nasional mempunyai langganan di Mojokuto dan banyak di baca oleh kalangan pemuda kota.Ada satu took buku di Mojokuto tetapi yang dijualnya kebanyakan buku pelajaran dan,karena pemiliknya seorang santri,juga buku-buku tentang islam.
Seni Kontemporer dan Munculnya “ Kultur Pemuda”
Komplek kesenian nasional mencerminkan,untuk sebagian besar,nilai-nilai inteligensia “kultur pemuda” yang baru muncul di Indonesia,seke lompok muda-mudi yang terpelajar,terpengaruh kota,tak pernah tentram dan tercengkam oleh ketidakpuasan yang mendalam terhadap adapt tradisional serta oleh sikap yang sangat mendua terhadap adat tradisaional serta oleh sikap yang sangat mendua terhadap Barat,yang mereka lihat sebagai sumber penghinaan dan “keterbelakangan” mereka dan sebagai bangsa yang mempunyai jenis kehidupan yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri (tentu saja dengan dikurangi gangster,ciuman dan materialisme).Mereka ikut serta dengan sepenuh hati untuk mengubah masyarakat kea rah impian-impian yang mereka pinjam tetapi tak tahu bagaimana harus melakukannya.
Sangat sensitive,mudah frustasi dan begitu idealistisnya kelompok ini dalam banyak hal merupakan unsure yang pailing vital dalam masyarakat Indonesia konterporer- lebih-lebih di pusat metropolitan yang besar dari pada di sebuah kota seperti Mojokuto.Barangkali mereka merupakan unsure yang paling sulit diramalkan juga. Mereka merupakan harapan dan keputusan Republik ini ;harapan karena idealisme mereka merupakan baik daya pendorong maupun kesadaran moralnya ; keputusannya karena posisi psikologis mereka yang terbuka di golongan perintis perubahan sosial bias membelokkan mereka dengan cepat kea rah primitivisme yang keras dari gerakan-gerakan pemuda baru lainnya di Eropa,yang di butuhkan batinya akan perubahan sosial yang efektif lebih besar daripada perubahan nyata yang bias di buat oleh generasi yang lebih tua untuk mereka.
MISTIK
Pembicaraan kita tentang para priyayi berlangsung dari manusia lahir ke manusia batin. Setelah membahas etiket,bahasa, dan kesenian mereka,kita berpaling sekarang kepada mistik, aspek religius kehidupan mereka yang jelas.
Di Mojokuto mistik dilakukan baik secara perorangan maupun dalam sekte-sekte itu merupakan kelompok-kelompok keagamaan sukarela yang kecil,biasanya mempunyai hubungan yang longgar dan betul-betul sangat longgar dengan cabang-cabang sekte itu lainnya di kota-kota lain dan dengan pemimpin pusat disalah satu kota besar,biasanya dikota-kota bekas kerajaan.
Ada lima sekte yang penting di Mojokuto : Budi setia(hampir tak mungkin diterjemahkan,tetapi secara kasar berarti”setia dalam pencarian Rasional untuk pengertian”),Kawruh Bejo (“Pengetahuan tentang keberuntungan”),Sumarah (“Menyerah kepada kehendak tuhan”),Ilmu sejati dan Kawruh Kasunytan(“ilmu tentang religitas tertinggi”).
Pokoknya mistik di Jawa adalah metafisika terapan serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang di dasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman.Walaupun setiap orang dan setiap sekte mempunyai posisi yang agak berbeda dan menarik kesimpulan yang agak berbeda dari analisa yang sama tak satu pun yang mempersoalkan premis-premis dasar dari analisa itu.Sebagaimana misalnya,dalam tradisi dualistic Barat dari Descartes sampai Kant,dasar pengandaian metafisikanya sama saja. Apa yang berbeda dan itu sangat kurang di Jawa dibandingkan dengan dalam tradisi Barat.Adalah cara penyusunan dan eksplikasi pengandaian-pengandaian itu disusun dan dikembangkan untuk menerangkan pengalaman nyata karenanya patutlah memeriksa dulu isi metafisika mistik jawa sebelum meneliti lebih dalam mengenai pelembagaannya bentuk-bentuk sosial yang di ambilnya,di Mojokuto.
Hubungan Dalam Antara Duka dan Bahagia
Dalam bagian mengenal abangan saya pernah mengutip seorang muda yang istrinya baru saja meninggal dan menekankan perlunya menjaga perasaan agar jangan bergejolak dan menghindarkan buaian perasaan yang tak menentu.Ia mengatakan bahwa cara melakukannya adalah denagn menyadari bahwa setiap orang memiliki masa bahagia dan masa duka.Dalam membicarakan priyayi saya juga telah mengutip penyair Mojokuto mengenai hal yang sama.Tema ini muncul dan muncul lagi dalam berbagai wawancara dengan anggota berbagai sekte.
Kadang-kadang tampak bahwa seakan-akan yang paling ditakuti priyayi adalah perasaan yang kuat,karena hal ini mengandung frustrasi yang parah dan membawa kemungkinan lepasnya agresi yang di kekang dengan hati-hati atau awal dari depresi yang intens. Gela,yang berarti kecewa dan kaget yang berarti terkejut adalah dua perasaan yang paling sering dinyatakan harus dihindari,karena yang pertama menimbulkan rasa susah sedang yang kedua menimbulkan kekacauan.Keduanya adalah bentuk-bentuk lain dari hal yang sama ; gela dianggap normal,artinya bukan tidak terduka,kaget,suatu frustasi mendadak yang tak terduga.
Perasaan Keagamaan yang Fundamental
Kalau emosi bias ditenangkan lewat berbagai sarana yang kini akan kita bahas maka di belakang atau di bawah atau di dalam emosi itu seseorang bias berhadapan dengan realitas tertinggi yakni refleksi tuhan dalam diri ; suatu proses yang oleh penyair kita di bandingkan dengan pecahnya buah kelapa.
Ada perumpamaan lain yang berlaku:
Kalau misalnya,kita mau membuat minyak kelapa
Batok kelapa itu bias disamakan dengan bentuk luar disiplin keagamaan
Dagingnya yang putih
Bisa disamakan dengan bentuk dalam disiplin keagamaan,
Sedang minyaknya adalah kebenaran
Jadi perbuatan
Membelah buah kelapa
Adalah cara untuk dapat memerah
Minyak yang terdapat di dalamnya
Ini adalah perumusan seorang abangan bukan seorang priyayi.Kepercayaan tentang hubungan antara penekanan instink dan kekuatan spiritual dengan perkecualian parsial di kalangan santri yang berpendapat bahwa tujuan berpuasa adalah untuk menunjukan ketakwaan orang kepada Tuhan,dan untuk mempertabah orang terhadap cobaan hidup yang mana pun adalah hampir universal.Ketika dimintai untuk melengkapkan kalimat “kalau orang tidak makan sebanyak-banyak…………”,sekitar tambahan dari jawaban yang menurut pendapat saya lebih bias diduga seperti”……….ia akan jadi kurus”,”……….ia akan sakit”,”………..ia akan kurangan vitamin B”)
………….itu baik sekali
………….adalah orang yang disiplin agamanya sangat nkuat.
………….kesehatannya akan baik.
………….berdisiplin dalam agama.
………….adalah orang yang akan menjadi ahli meditasi.
………….akan jadi pintar.
………….biasanya akan mampu berkerja semalam suntuk.
………….akan memiliki fikiran yang jernih.
………….akan melakukan perbuatan yang baik.
………….akan cepat kaya.
………….itu disebut disiplin keagamaan agar bias mencapai cita-citanya.
………….Pasti jadi pintar.
…………menyenangkan.
…………Ya,ia akan kuat.
Orang mungkin tidak akan mendapatkan jawaban demikian dalam satu juta tes di Amerika Serikat.
Sama halnya jawaban terhadap pertanyaan sebaliknya,” seorang yang”………..makn terlalu banyak…………..”,sebagai tambahan dari jawaban seperti”…………ia akan jadi gemuk”atau”…………..ia akan jatuh sakit”,kami memperoleh jawaban-jawaban seperti ini :
…………..tidak akan lancer berfikir
…………...akan jadi bodoh.
…………...akan tak mampu berfikir.
…………...perbuatanya akan tidak baik.
……………akan tidak pintar.
……………fikirannya akan terbalut ia tidak mampu berfikir.
…………….pasti bodoh
Banyak orang Jawa,abangan dan priyayi,masih berpuasa pada hari senin dan kamis dari fajar hingga petang.berjaga semalam suntuk,khususnya pada hari-hari libur,atau pada kesempatan yang khusus,akan membuat orang awet muda dan berumur panjang.
Psikologi Metafisik
Selain unt5uk memperteguh disiplin rohaniah dan meditasi studi empiris mengenai kehidupan emosional di anggap juga sebagai suatu saran untuk mengetahui dan mengalami kehadiran tuhan dalam diri.Demikianlah kawruh beja melakukan analisa fenonenologis tentang diri,sebagaimana telah dikutip; Budi Setia mempersoalkan berjenis-jenis” satu dalam hening”,juga telah dikutip diatas; dan ilmu sejati mendasarkan sesuatu pokok dalam psikologi metafisik orang jawa; amarah – mutmainah – dorongan ingin tenang,keinginan akan kedamaian didalam ; aluamah – lapar,keinginan makan dan minum.
Pola Guru – Murid
Apakah pengetahuan yang benar diperoleh terutama melalui disiplin rohaniah atau spekulasi filosofi atau dengan keseimbangan yang berimbang antara keduanya,tetapi karena orang sangat memperhatikan kemampuan mereka dalam bidang ini,maka wajarlah kalau ada tingkat-tingkat individu menurut persangkaan atau bukti tentang kesanggupannya untuk mencapai prestasi mistik.
Sumarah misalnya memiliki bsistem empat tingkat untuk anggota-anggotanya.Yang pertama adalah mereka yang lebih muda,dua belas sampai dua puluh tahun umurny,yang bermeditasi sendiri terpisah dari anggota-anggota lainnya (tetapi di bawah pemimpin guru sekte itu) agar mereka tidak mengganggu konsentrasi mereka yang lebih tinggi. Ada anggapan bahwa kalau orang sedang bermeditasi atau bermeditasi secara tidak mendalam,hal itu akan mengganggu kosentrasi mereka yang lebih tinggi.
Sistem guru diletakan atas dasar perbedaan spiritualdi antara berbagai individu dan kelompok,bakat yang bias ditingkatkan tetapi hanya sebagai titik tertentu,pangkat,jenis kelamin dan usia bersama-sana membentuk tingkatan yang cukup seimbang dalam status spiritual suatu tingkatan yang sekalipun ada kritik bahwa orang toh tak bias mengemis dalam kenyataanya bias saja lebih tinggi dari seorang bupati,berjalan seiring dengan baik sekali dengan status politik dan sosial pada umumnya. Semua sekte Mojokuto berasal dari guru-guru mistik tinggi istana yang menemukan ilmu itu dalam suatu meditasi yang tidak lebih rendah lagi begitu seterusnya ke bawah hingga dalam beberapa kasus,bahkan sampai kepada petani.
SEKTE SEKTE MISTIK
Ø Budi Setia
Budi setia merupakan jenis kelompok diskusi keagamaan kalangan idealis yang sama aliran pikiran dan kelasnya.sekte ini yuang paling terorganisasi secara formal,ketat,terpadu,baik pada tingkat regional maupun lokal.Setia budi didirikan pada masa pendudukan militer Belanda di Mojokuto di tahun 1949,di tengah-tengah refolusi,di bawah pimpinansetengah lusin pegawai negrifederalis.Tapi dalam hal ini kejadianya adalah ,karena kepala polisi Belanda yang bertugas menjaga keamanan dalam negri adalah jusrtu seorang yang antusias dalam teosofi.Anggota dari budi stia adalah seorang priari.Karena sakte ini merupakan sakte yang paling murni. Diantara sakte lainya dalam hal status.Kelompok budi stia bertemu di rumah seorang anggotanya secara bergiliran,dan walaupun bersifat formal,tapi anggotanya sangat santai atau Sumarah
Sumarah adalah yang paling terorganisir diantara sekte-sekteitu.Konstitusi itu,disamping penetapan aturan dan peraturan-peraturan,secara garis besarnya mengatur organisasi formal seluruh sekte itu dalam berbagai devisi,cabang dan anak cabang,dan menyatakan tujuan umum.jadi sumarah adalah lebih dari sekedar perkumpulan bersemadi yang informal,isaja a memiliki aspirasi menjadi semacam muhamadiah(suatu perkumpulan sosial religious yang lebih berdasarkan mistik daripada islam.
Ø Kawruh Beja
Guru utama adalah seorang bekas kelerek pada birokrasi sipil dan pabrik gila belanda,yang mempunyai pengikut sekelompok kecil priayi.Anggota-anggota Kawruh Beja mengatakan bahwa mereka tidak berurusan dengan apa yang tidak langsung bias dialami dan bahwa mereka mencoba membangun seluruh system mereka atas dasar fakta yang bias di persepsi.
Ø Ilmu Sejati
Ilmu sejati organisasinya sangat longgar sebagaimana Karwuh Beja,hanya saja perumusan isinya lebih sistematik.Tiap guru(yang harus memperoleh ijazah dari guru kepala,biasanya dengan rekomendasi dari guru lokalnya)harus mnghafal serangkaian daftar yang terdiri dari delapan beles fasal yang berisi semua yang dianggap yang harus diajarkan.ilmu itu disusun dengan sedemikian rupa agar bisa diajarkan dalam satu pertemuan.dengan demikian pada setiap pertemuan ilmu sejati pasal yang delapan belas itu semuanya ditelaah,hamper dalam cara mengaji oleh guru,dengan para murit yang memperdengarkanya dengan tenang,dan se cara teoritis ilmu bisa dipelajari semalam saja.
Ø Kawruh Kasunyatan
Sekte ini bertemu tigapuluh lima hari sekali(pada hari minggu legi).pertemuan itu terb uka untuk siapa saja.Pertemuan ini periode sebelum tengah malam tersediakan untuk inisiasi anggota-anggota baru.Guru duduk di depan sentong tengah kamar rumah,dan membacakan pernyataan kepercayaan organisasi dalam gaya mengaji kepada anggota yang baru,yang umumnya tidak mengerti banyak karena dirumuskan dalam bahasa jawa sastra.
KONFLIK DAN INTEGRASI
Ø Agama dan Masyarakat DI Mojoketo
Abamngan,santri,dan priayi adalah tipe-tipe murni yang tertutup,dan bahwa kehidupan mojoketo terdiri dari sub-komunitas yang hubungan satusama lain berdasarkan geografi dan mungkin juga ekonomi.
Tiga hal yang meredakan konflik:
- Perasaan berkebudayaan satu,termasuk makin pentingnya nasionalisme,yang menitk beratkan pada kesamaan yang dipunyai orang jawa ketimbang pada perbedaanya.
- Kenyataan bahwa po9la keagamaan tidak terwujut secara langsung dalam bentuk social.
- Toleransi umum yang didasarkan atas suatu relatifisme kontekstual yang menganggap nilai tertenru memang sesuai dengan konteksnya.
- Pertumbuhan mekanisme social yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi social yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan social dari berbagai pandangan social dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ø Konflik-konflik Ideologi
Pada tingkat ideology,perbedaan antara abangan,priayi agak tertutup ,baik karewna relatifme umum dari keduanya dank arena kaum abangan tidak tertarik kepada dogama dalam hal apapun.Banyak priayayi menganggap kepercayaan dan praktek abangan sebagai tahayul,dan menganggap kalangan abangan terlalu gampang percaya.
Ø Konflik-konflik Kelas
Ketegangan priyayi abangan terlihat paling jelas dalam hubungannya dengan persoalan status , priyayi sering menuduh orang desa tidak tau tempatnya yang layak dan karenanya mengganggu organis masyarakat , mempersalahkan mereka sebagai berlamunan besar dan gagal meniru gaya hidup priyayi.
Dengan demikian mekanisme kasta atau semi kasta yang pada masa lampau mengisolasi system nilai abangan dari system nilai priyayi tidak lagi berlangsung dengan keefektivan tradisional,dan hubungan yang dipakasakan antara dua pandangan dunia ini terjadi dimana masing-masing harus memperhatikan yang lain dalam serangkaian kesempatan yang jauh lebih luas dari semestinya.
Ø Konflik-konflik Politik
Ketika kemudian timbul revolusi politik kekosongan kekuasaan tiba-tiba terjadi , hampir menyeret semua kehidupan social.dengan terbukanya muslihat semua orang mengetahui sebuah pengertian yang dalam masa pra –revolusi hanya terbatas dikalangan intelektual nasionalis-pertarungan untuk kekuasaan menjadi intens perjuangan politik yang emikian meninggi berbagai kelompok keagamaan , persoalan keagamaan menjadi persoalan politis.
Ø Faktor-faktor Psikologi
Perjuangan status yang makin meningkat konflik politik yng semakin itensif dan walaupun dalam bentuk yang jelas langsung , ketegangan ekonomi yang meningkat , semuanya cenderung menegaskan perpecahan keagamaan diindonesia sesudah revolusi.hubungan struktur social yang demikian cepat bberubah serta meningkatnya perasaan resah dan agresi yang menyertainya dan pencaran kambing hitam fantasi sebagai akibatnya untuk menyediakan suatu dasar rasional bagi keresahan dan jalan keluar bagi agresi yang cukup ditegaskan dalam literature ilmu-ilmu social.
Ø Agama dan Integrasi Sosial
Semua orang jawa-santri , priyayi , abangan menganggap bahwa beberapa kebenaran umum tertentu sudah terbukti dengan sendrinya , seperti halnya dibalik pembagian atas katolik ,protestan dan yahudi , orang amerika semuanya berpegang pada nlai-nilai tertentu yang mencakup dalam banya hal misalnya , membuat seoang katolik amerika pandangan dunianya lebih mirip dengan orang protestan amreika daripada dengan seorang katolik spanyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar